Agama berpengaruh besar dalam kehidupan umat manusia. Bahkan, agama makin berpengaruh besar saat manusia sudah mati. Agama, memang, berpengaruh dalam hidup dan mati.
Agama sudah berkembang sejak ribuan tahun yang lampau. Sehingga wajar, bila saat ini, sudah terbentuk sistem agama yang baku dalam satu dan lain bentuk. Beberapa orang memandang agama sebagai sistem formal yang mengatur tata cara ibadah, menjalani hidup, dan hidup bermasyarakat. Agama berisi, dengan, beragam aturan baku demi kebaikan umat manusia.
Di sisi lain, beberapa orang memandang agama sebagai spirit kemajuan manusia. Agama, terus-menerus, memercikkan inspirasi kepada umat manusia dengan ide-ide segar. Agama selalu hidup. Agama bertabur cinta. Agama adalah dinamika.

1. Agama Formal
1.1 Identitas
1.2 Ritual
1.3 Legal
2. Spirit Agama
2.1 Cinta
2.2 Pencerahan
2.3 Sekular
3. Masa Depan Agama
3.1 Haus Dogma
3.2 Pembebasan
3.3 Simbol Dinamika
4. Diskusi
4.1 Ringkasan
4.2 Filosofi Roda Tiga
4.3 Agama Cinta Absolut
Kita akan membahas dua sudut pandang di atas, agama formal vs spirit agama, yang saling melengkapi. Tentu saja, kita akan menambahkan peran cinta dalam beragama. Pada bagian akhir, kita akan mengembangkan hipotesis tentang masa depan agama atau agama masa depan. Agama masa depan adalah agama yang bernuansa dinamika. Sehingga, agama selaras dengan filosofi roda tiga yang senantiasa berputar.

1. Agama Formal
Yang paling jelas dari agama adalah jaminan hidup yang sempurna. Hidup sempurna di masa kini dan di masa depan, misal kehidupan bahagia di akhirat berupa surga. Karena itu, komitmen seseorang terhadap agama, umumnya, adalah komitmen yang sangat kuat. Ketika seseorang meyakini agama A maka dia akan menjalani hidup sepenuhnya sesuai tuntunan agama A. Bahkan, orang tersebut rela berkorban apa saja demi agama A, sampai korban jiwa raga. Bagi mereka, agama adalah agama formal yang paling sempurna.
1.1 Identitas
Sistem agama formal makin kuat dengan klaim identitas. Saya adalah orang beragama A. Karena itu, saya berbeda dengan orang yang bukan beragama A. Saya identik dengan orang-orang yang beragama A. Semua ajaran agama A adalah kebenaran. Yang berbeda dengan ajaran agama A adalah kesesatan atau, minimal, sia-sia.
Keunggulan identitas adalah mengacu pada diri sendiri. Ketika saya mengatakan agama A sebagai yang terbaik, itu karena, agama A mengatakan bahwa agama A adalah yang terbaik. Bukan karena ada panitia netral yang membandingkan agama A dengan agama B atau lainnya, lalu, kesimpulannya adalah agama A yang terbaik. Yang lebih menarik, agama A bisa membanding-bandingkan agama A dengan agama lain, dan tentu saja, hasilnya adalah agama A yang terbaik. Identitas A makin menguatkan klaim bahwa dirinya adalah yang terbaik.
Apakah perlu membandingkan agama A dengan agama B? Perlu dan tidak perlu. Tetapi, perbandingan semacam itu tidak akan pernah memadai.
Perlu Perbandingan
Perbandingan adalah cara paling mudah untuk memahami sesuatu. Dengan membandingkan agama A terhadap agama B, maka, kita lebih mudah memahami kedua agama. Sehingga, kita perlu membandingkan beragam agama untuk memudahkan pemahaman. Bagaimana pun, perbandingan ini tidak akan pernah memadai.
Lebih penting lagi adalah perbandingan di dalam agama itu sendiri antara aliran P dengan aliran Q, misalnya. Seperti kita tahu, dalam setiap agama, berkembang aliran-aliran pemikiran yang beragam. Membandingkan aliran P terhadap aliran Q dapat memudahkan kita memahami identitas agama dengan lebih baik. Bila proses perbandingan ini dilakukan dengan respek maka akan menghasilkan banyak ide-ide kemajuan.
Tentu saja terdapat resiko dalam membandingkan agama. Aliran P menjelekkan aliran Q masih lebih ringan dari agama A menjelekkan agama B. Konflik di dalam satu agama cenderung lebih ringan. Sementara, konflik antar agama cenderung resiko besar. Karena itu, penting untuk terus menjunjung rasa hormat di antara seluruh umat.
Alternatif lebih baik adalah dialog antar agama atau antar aliran. Dialog ini bertujuan untuk mengembangkan kebersamaan di antara keragaman. Sehingga, suasana respek dalam dialog selalu terjaga. Bagaimana pun, ada pihak-pihak tertentu yang tidak sepakat dengan pendekatan dialog. Karena menurut pihak itu, sudah jelas bahwa agama A dengan aliran P, yang diyakininya, adalah yang terbaik. Dengan demikian, kita hanya bisa menempatkan dialog sebagai salah satu alternatif untuk memahami agama di antara beragam cara lainnya.
Tidak Perlu Perbandingan
Seseorang tidak perlu membandingkan agama-agama ketika sudah yakin dengan agamanya sendiri. Apalagi, dia sudah mendalami agamanya itu dengan sangat mendalam. Sehingga, tidak ada kepentingan baginya untuk membandingkan dengan agama lain.
Bagi yang tidak siap dengan keragaman, juga, tidak perlu membandingkan agama. Karena, dengan membandingkan agama, justru akan muncul beragam pilihan. Hal semacam ini bisa membingungkan mereka.
Bagi yang hanya ingin menghina agama orang lain, juga, tidak perlu membandingkan agama. Karena, apa pun proses perbandingan agama, hasilnya sudah jelas: agama lain adalah jelek.
Masih ada beberapa resiko buruk ketika membandingkan antara agama, atau antar aliran. Sebaiknya, resiko-resiko ini dihindari.
Tidak Memadai
Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa perbandingan agama tidak pernah tuntas. Baik untuk kepentingan saling memahami, kita tidak akan pernah sempurna dalam saling memahami. Apalagi untuk kepentingan menghina agama orang lain, kita tidak pernah memiliki argumen sempurna untuk menyesatkan agama lain. Sehingga, kita perlu menyadari bahwa setiap klaim selalu tidak sempurna.
Tidak sempurnanya klaim bukanlah cacat. Justru, tidak sempurna adalah hakikat dari setiap klaim.
Karena setiap klaim adalah tidak sempurna, maka, terdapat banyak kesempatan untuk menjadi lebih baik, lebih sempurna. Dinamika agama lebih terjaga sepanjang masa. Di satu sisi, dinamika menjamin kemajuan alam semesta termasuk manusia. Di sisi lain, identitas agama menjaga pijakan fundamental yang kokoh bagi umat manusia. Tentu saja, agama seiring sejalan dengan cinta.
1.2 Ritual
Kehidupan di era digital, kita membutuhkan lebih banyak ritual. Sayangnya, banyak orang kurang ritual. Mereka terjebak dalam kehidupan ekonomi yang menuntut efisiensi. Karena teknologi digital makin canggih, maka, mereka bisa bekerja kapan saja, di mana saja. Hidup makin hampa saja. Mereka butuh “healing” tapi tidak memadai. Solusinya: kita perlu ritual. Dan, agama memberi tuntunan ritual yang terbaik.
Manusia adalah manusia – tidak bisa direduksi menjadi mesin ekonomi belaka. Ritual agama adalah sarana bagi manusia untuk, benar-benar, menjadi manusia.
Kepastian Transenden
Ibadah ritual bisa berupa doa kepada Tuhan, memuja Tuhan, dan menyembah Tuhan. Tuhan adalah pencipta segala alam semesta. Tuhan Maha Baik, Tuhan Maha Tinggi. Tuhan transenden melebihi segala yang ada.
Dengan berdoa, manusia membangkitkan diri yang transenden terhubung dengan Tuhan Maha Suci yang transenden. Hidup ini lebih dari sekedar kesibukan sehari-hari. Hidup ini adalah anugerah dari Yang Maha Suci. Manusia memiliki kemampuan yang terbatas, waktu yang terbatas, terhubung dengan Tuhan Maha Perkasa tanpa batas.
Agama menjamin kehidupan yang transenden melintasi ruang dan waktu dengan penuh kepastian.
Ibadah ritual menjadikan manusia terjaga dari komersialisasi kapitalisme. Segala sesuatu bisa dihitung dengan uang. Tetapi ibadah ritual adalah kehidupan transenden yang tidak bisa dibeli dengan uang. Pemandangan alam bisa dibeli dengan wisata. Kecantikan wanita bisa dibeli melalui beragam media. Nikmatnya makanan mewah bisa dibeli kapan saja. Ibadah ritual berbeda. Ibadah ritual transenden dari itu semua. Ibadah adalah bahagia sempurna tiada tara.
Tentu saja, orang bisa menjual ibadah ritual. Orang bisa menipu dengan kedok ritual. Bahkan, orang bisa berbuat jahat atas nama ritual. Tetapi itu semua bukan ibadah ritual. Itu semua hanya pembohongan atas nama ibadah ritual. Karena, ibadah ritual adalah sisi kehidupan spiritual yang transenden.
Kita membutuhkan ibadah ritual. Bahkan lebih banyak lagi di era digital.
Beban Meringankan
Manusia memang unik. Orang yang paling bisa bahagia adalah orang paling menderita. Orang yang paling bisa menikmati makanan adalah orang yang paling tidak memiliki makanan. Orang paling bebas adalah orang yang tidak punya apa-apa. Saling berkebalikan.
Apakah Anda pernah berpuasa? Atau, mengamati orang berpuasa? Ketika magrib, waktu berbuka tiba, Anda makan begitu nikmat. Minum begitu nikmat. Bahkan, makan hanya beberapa suap nasi dengan sayuran seadanya, semua terasa sedap. Makanan menjadi nikmat karena Anda lapar, seharian tidak makan tidak minum.
Orang miskin, yang tidak punya makanan apa pun, makan sebungkus nasi di pinggir jalan begitu nikmat. Orang kaya, berlimpah harta, tidak bisa menikmati makanan di restoran mewahnya. Orang kaya itu merasa hambar meski semua jenis makanan lezat terhampar. Perutnya besar. Di pikirannya terbayang bagaimana urusan hutang yang sampai ratusan milyar. Bagaimana jika petugas KPK – Komisi Pemberantasan Korupsi – tiba-tiba menggeledah seluruh kamar.
Begitu juga fasilitas hidup rumah megah, mobil mewah, dan perhiasan berlimpah semua tidak menjadikan hidup cerah. Di tempat lain, orang miskin berdesakan di angkutan umum tetap tersenyum.
Bukan berarti kita harus miskin. Bukan berarti kita tidak boleh kaya. Kita harus belajar dari orang miskin dan kaya agar bisa bahagia dengan sempurna.
Ibadah ritual adalah beban. Ibadah ritual adalah kewajiban. Di saat yang sama, ibadah ritual adalah beban yang meringankan. Baik, meringankan hidup atau pun mati Anda. Ambil contoh beban kewajiban berupa doa tiap pagi, atau solat subuh bagi orang Islam. Orang lain, jam 4 subuh bebas untuk tidur mendengkur. Orang Islam wajib bangun dari tidur. Lalu, ambil air untuk cuci muka (berwudu) lanjut harus berdoa (solat subuh).
Jadi, beban ritual itu membebani atau meringankan? Meringankan. Nyatanya, dengan kewajiban solat subuh orang justru ringan untuk bangun pagi. Mereka yang tidak solat subuh, justru, terbebani oleh badannya sendiri tidak kuat bangun pagi. Perempuan muslimah, di saat tertentu, tidak ada kewajiban untuk solat subuh. Mereka jadi malas bangun pagi. Padahal, ketika ada kewajiban solat subuh mereka rajin bangun pagi.
Bukankah kesan meringankan seperti itu hanya persepsi belaka? Bisa jadi memang persepsi. Tetapi, persepsi yang penuh arti. Dan, persepsi yang memberi arti kepada hidup ini.
Kita tahu bahwa mengerjakan ritual yang bertujuan untuk sekedar menunaikan kewajiban, atau menggugurkan kewajiban, adalah tingkat ritual dengan kualitas paling rendah. Meski rendah, tetap bermanfaat. Tingkat yang lebih tinggi adalah mengerjakan ritual dengan khusuk, konsentrasi penuh, sehingga terhubung kepada Tuhan Yang Maha Suci. Ibadah ritual, yang khusuk, menghadirkan rasa cinta kepada Tuhan, kepada sesama manusia, dan kepada seluruh alam semesta.
Keragaman
Agama yang berbeda menetapkan jenis ritual yang berbeda. Sehingga, jenis ritual menjadi beragam. Umumnya, orang bisa memahami keragaman ritual seperti itu. Masalah justru, kadang, muncul bila terjadi keragaman dalam satu agama yang sama. Jenis ritual mana yang benar?
Masyarakat bisa menyelesaikan keragaman itu, misalnya, dengan menetapkan madzhab atau aliran-aliran dalam satu agama yang sama. Atau, mendirikan organisasi masing-masing. Di Indonesia, sebagai contoh, ada NU dan MU. Mereka sama-sama Islam tetapi sering berbeda dalam aturan ritual. Karena NU dan MU memang berbeda organisasi, maka, perbedaan ritual tidak menjadi masalah.
Bagaimana pun, meski NU dan MU adalah organisasi berbeda, kadang mereka berkonflik dalam suatu ritual yang sama, misal, penetapan hari Raya Idul Fitri. MU cenderung lebih awal dari NU dalam menetapkan hari raya. Perbedaan hari raya ini tidak masalah sejauh masing-masing pihak bisa saling respek. Di Indonesia yang sering memberi hari cuti bersama yang cukup panjang, tidak ada masalah dengan perbedaan hari raya. Tetapi, negara lain yang cuti hanya 1 hari, perbedaan hari raya bisa jadi masalah. Karena libur cuti bisa berbeda dengan hari raya itu sendiri. Sehingga beberapa orang kesulitan untuk melaksanakan ibadah ritual hari raya.
Barangkali NU dan MU, sebagai contoh, bisa melakukan dialog untuk mencari titik temu ibadah ritual yang berkonsekuensi ke masyarakat luas.
Etika Ritual
Dahulukan etika di atas ritual atau dahulukan ritual di atas etika? Bukankah bisa dilaksanakan secara serentak?
Ketika bisa dilaksanakan serentak maka lebih baik dilaksanakan serentak. Jika harus memilih salah satu maka utamakan yang lebih penting dengan meninggalkan yang resiko tidak berbahaya – antara ritual dan etika. Dengan kata lain, utamakan etika ketika meninggalkan ritual adalah tidak berbahaya. Sebaliknya juga benar. Utamakan ritual ketika meninggalkan etika adalah tidak berbahaya.
Situasi lebih pelik ketika keduanya, ritual dan etika, sama-sama penting dan sama-sama berbahaya bila ditinggalkan. Situasi ekstrem semacam ini jarang terjadi, meski, bisa terjadi.
(A) Sama-sama penting dan resiko tinggi. Anda dalam perjalanan menuju bandara untuk terbang ke luar negeri ziarah spiritual (misal umrah). Anda diantar sopir taksi. Di tengah jalan, sopir taksi sesak nafas serangan jantung. Apa yang Anda lakukan?
A1: Anda mengantar sopir taksi ke rumah sakit (Anda mampu mengendarai taksi itu) sehingga sopir taksi selamat. Dengan resiko, Anda ditinggal pesawat dan gagal ibadah ritual. Alternatif ini mengutamakan etika di atas ritual.
A2: Anda minta bantuan orang lain agar sopir taksi di antar ke rumah sakit. Karena kritis, sopir taksi meninggal di rumah sakit. Tetapi, Anda bisa pakai taksi lain menuju bandara dan kemudian naik pesawat melaksanakan ibadah ritual. Alternatif ini mengutamakan ritual di atas etika.
Apakah Anda memilih A1 atau A2, sama-sama, dalam situasi sulit. Anda perlu benar-benar mencermati situasi yang terjadi, mendengarkan suara hati, berpikir dengan gesit, dan kemudian mengambil keputusan yang paling tepat untuk Anda. Secara umum, kita tidak bisa mengambil keputusan global. Kita benar-benar perlu informasi detil ketika kejadian itu terjadi.
Situasi yang sering terjadi justru lebih ringan. Bagaimana Anda mengambil sikap?
(B) Sama-sama penting dengan resiko ringan atau sedang. Anda sedang dalam siatuasi sibuk sepanjang sore itu sampai tidak bisa solat asar (ibadah ritual) di waktu awal. Pukul 17.55, waktu asar 5 menit lagi habis, Anda menyempatkan diri akan solat asar. Di saat yang sama, datang tamu memerlukan bantuan Anda hanya 5 menit karena tamu itu buru-buru hendak ke Bandara. Tamu itu hendak memberikan sumbangan ke yatim piatu dengan bantuan Anda selama 5 menit. Apa yang akan Anda lakukan?
B1: Anda bisa menolak tamu itu karena Anda perlu solat asar di waktu yang hanya 5 menit. Pilihan ini, Anda mengutamakan ritual di atas etika. Tetapi resiko etika cukup ringan. Toh, tamu itu bisa transfer nantinya – bisa tidak transfer juga.
B2: Anda membantu tamu itu selama 5 menit sehingga berhasil transfer dana untuk yatim piatu tetapi Anda gagal solat asar pada waktunya. Pilihan ini, Anda mengutamakan etika di atas ritual.
B1 atau B2 sama-sama ada resiko. Kedua resiko sama-sama ringan atau sedang, dalam arti, barangkali ada alternatif cara untuk mengatasi resiko itu. Ketika Anda memilih B1, barangkali, di lain waktu, Anda bisa menghubungi tamu itu membantunya untuk transfer dana bagi yatim piatu. Jika Anda memilih B2, barangkali, setelah waktu asar terlambat, Anda bisa melakukan solat pengganti.
Jadi, apakah Anda memilih B1 atau B2? Mengutamakan ritual atau etika?
Jawabannya adalah utamakan etika di atas ritual.
Mengapa? Karena etika bersifat sosial pada umumnya. Sehingga, manfaat etika dirasakan oleh banyak orang. Jika terjadi masalah etika, dampaknya, juga lebih ke banyak orang. Sementara, ritual umumnya bersifat pribadi. Dalam kondisi tertentu bisa saja terbalik. Yaitu, etika bersifat pribadi dan ritual bersifat sosial. Dalam kasus ini, Anda harus benar-benar cermat mengambil keputusan.
Seorang cendekiawan dari Bandung menulis buku, “Dahulukan Akhlak di Atas Fikih.” Senada dengan kesimpulan kita di atas, “Dahulukan Etika di Atas Ritual.”
1.3 Legal
Agama mengatur sistem legal sebagai suatu sistem yang sakral. Dengan demikian, orang-orang yang mengikuti sistem legal agama merasa hidup lebih tenteram. Berbeda dengan sistem legal manusiawi, yang, masih ada cacat di sana sini.
Hampir setiap agama mengembangkan sistem legal. Salah satu yang paling utama adalah legalitas pernikahan secara agama. Umat beragama meyakini bahwa keabsahan suatu pernikahan adalah hak hukum agama. Misal di Indonesia, pernikahan diatur oleh kementrian agama. Dengan cara ini, pernikahan di Indonesia memiliki aspek legal ganda: agama dan negara.
Dalam menyikapi bunga bank, masing-masing agama, dan aliran, bisa berbeda sikap. Negara memandang bunga bank sebagai sah – legal. Sementara, mengenai lintah darat, negara dan agama sepakat bahwa lintah darat adalah kriminal. Melanggar aturan agama dan negara.
Fokus tentang bunga bank, kita akan menemukan banyak hal menarik. Semua pihak sepakat bahwa riba adalah haram. Tetapi terjadi perbedaan pendapat apakah bunga bank termasuk riba? Bagi yang meyakini bunga bank sebagai riba maka mereka mengharamkan bunga bank. Sementara, bagi pihak yang tidak menganggap sebagai riba maka bunga bank sah-sah saja. Tidak ada pihak yang menghalalkan riba.
Fenomena yang lebih menarik adalah tidak imbangnya penilaian riba terhadap bank. Pihak yang mengaharamkan bunga tidak mau pinjam uang karena ada beban bunga yang dinilai sebagai haram. Sementara, pihak yang sama itu, tidak menawarkan ke masyarakat bahwa dia menawarkan pinjaman tanpa bunga. Seandainya, mereka menawarkan pinjaman tanpa bunga, hal itu akan menjadi tantangan menarik bagi industri bank.
Memang benar, ada pihak yang mengklaim menawarkan pinjaman tanpa bunga. Tetapi dikenai biaya administrasi dan lain-lain, misal bagi hasil, yang jumlahnya lebih besar dari bunga bank. Wajar saja, masyarakat tidak tertarik dengan pinjaman yang lebih mahal dari bunga bank.
Lalu, sebenarnya, bunga bank itu haram atau tidak?
Pertama, anggap agama mengharamkan bunga bank. Tetapi pengharaman itu dilakukan oleh tokoh agama seribu tahun yang lalu atau lebih. Maka bank jaman dulu pasti beda dengan bank jaman sekarang. Kesimpulannya, pengharaman bunga bank itu terbuka dengan interpretasi baru.
Kedua, anggap agama mengharamkan bunga bank adalah akhir-akhir ini. Sehingga, bank yang dimaksud adalah sama dengan bank masa kini. Tetapi, pihak yang mengharamkan tentu bukan pendiri agama melainkan tokoh agama. Dengan alasan yang sama, tokoh agama masa kini juga berhak melakukan interpretasi ulang terhadap pengharaman bunga bank.
Ketiga, tidak ada konflik dalam pengharaman bunga bank. Sejatinya tidak ada masalah dengan haramnya bunga bank. Bagi yang meyakini haram maka sebaiknya tidak hutang ke bank. Bagi yang meyakini halal silakan hutang ke bank asal dilunasi beserta bunga dan biaya lainnya.
Aspek legal hukum agama memiliki daya tarik tersendiri. Orang merasa lebih nyaman ketika bisa mematuhi hukum agama. Orang merasakan nilai suci, nilai sakral, dalam hukum agama. Hal ini menunjukkan prospek yang cerah bagi hukum agama. Apakah para ahli agama akan menyambut dengan baik prospek itu?
2. Spirit Agama
2.1 Cinta
Cinta selalu hadir dalam setiap agama, meski, tidak selalu hadir dalam hati umat beragama. Cinta, dalam agama, menyinari hati-hati umat manusia dalam rangkulan Tuhan yang Maha Kasih dan Maha Sayang. Cinta dari Tuhan tidak pernah ada habisnya. Cinta kepada Tuhan juga tidak pernah ada habisnya. Agama adalah sumber cinta bagi seluruh semesta.
Maha Kasih
Tuhan adalah Maha Kasih. Dengan demikian, agama memiliki karakter yang sama. Agama, membimbing umat manusia untuk saling memberi sebagai pengasih. Tuhan memberi, mengasihi, kita tanpa batas. Pada gilirannya, kita memberi kepada sesama dan alam raya.
Hanya anugerah Tuhan yang menjadikan kita sehat dan bahagia. Selanjutnya, tugas kita menyalurkan anugerah itu kepada tetangga, kepada teman, dan kepada semuanya. Dengan anugerah itu, dari Tuhan melalui diri kita, menjadikan alam sekitar lebih berwarna. Dan, Tuhan akan menambah anugerah kepada kita dan alam raya.
Makin banyak memberi maka makin banyak aliran anugerah. Yaitu aliran anugerah kepada mereka, dan di saat yang sama, aliran anugerah dari Tuhan kepada kita.
Bagaimana jika diri kita berposisi sebagai penerima? Tidak masalah sebagai penerima. Anda sebagai pemberi adalah lebih baik. Orang yang sebagai penerima tidak lebih buruk. Menerima anugerah Tuhan melalui orang lain adalah baik-baik saja.
Problem muncul ketika ada pihak tertentu yang mendominasi penerimaan. Misal, dengan mendirikan lembaga pengumpul donasi. Kemudian, rencananya, mereka menyalurkan donasi kepada fakir miskin. Proses pengumpulan donasi benar terjadi. Sementara, penyaluran donasi kepada fakir miskin belum tentu terjadi. Justru, beberapa panitia pengumpulan donasi itu memanfaatkan uang donasi untuk kemewahan hidup.
Panitia pengumpulan donasi adalah resiko tinggi. Sementara, panitia penyaluran donasi adalah baik-baik saja. Apa bedanya?
Panitia pengumpulan, biasanya, merangkap penyaluran. Di tahun 2022 ini, ada lembaga pengumpulan donasi, sebut saja LPD, berhasil mengumpulkan dana umat sampai ratusan milyard rupiah tiap tahunnya. Tetapi, hanya sebagian saja yang berhasil disalurkan ke fakir miskin. Sebagian yang cukup besar malah digunakan untuk keperluan operasional mewah para pejabatnya. Penyalahgunaan donasi ini berdampak dua orang pejabat tinggi LPD ditahan polisi dalam kasus kriminal. Sungguh menyedihkan. Dana umat yang sejatinya untuk tanda kasih sayang sesama umat justru diselewengkan oleh oknum LPD.
Sementara, panitia penyaluran donasi tidak akan jadi masalah. Misal, Tuan Haji hendak membagikan donasi sejumlah 200 juta rupiah kepada fakir miskin. Kemudian, Tuan Haji membentuk panitia penyaluran donasi dengan biaya, misal 15 juta. Panitia ini bekerja dalam waktu 5 hari. Setelah selesai, panitia memberi laporan pertanggungjawaban kepada Tuan Haji. Beres semua, panitia dibubarkan.
Karena dana berasal dari Tuan Haji maka Tuan Haji dengan mudah mempelajari laporan panitia penyaluran. Sementara, kasus LPD berbeda. Ada, misal, 2 juta orang donatur, masing-masing donasi 1 juta rupiah, maka terkumpul donasi 2 trilyun. Jika LPD membuat laporan bahwa 200 milyar rupiah disalurkan ke fakir miskin dan 300 milyar rupiah untuk membangun sekolah dan ada bukti nyata, maka donatur yang hanya menyumbang 1 juta rupiah tentu saja bangga. Padahal ada donasi 1 trilyun 500 milyar yang belum jelas. Ada godaan besar untuk terjadi penyelewengan dana di LPD.
Godaan media digital lebih menantang lagi. LPD bisa memasang iklan pengumpulan donasi di media digital. Tanpa iklan digital, misal, tidak ada donasi yang terkumpul. Dengan iklan digital, terkumpul donasi dari 500 orang x masing-masing 1 juta rupiah, total 500 juta. Biaya untuk bintang iklan, misal influencer, sebesar 200 juta. Biaya untuk media sosial 100 juta. Biaya untuk pejabat LPD 100 juta. Sisanya 100 juta disalurkan untuk fakir-miskin. Apakah model iklan digital semacam itu adil dan baik?
Pilihannya, jika tidak pasang iklan digital maka tidak ada donasi sama sekali bagi fakir miskin. Sedangkan, bila pasang iklan digital maka ada donasi untuk fakir fiskin 100 juta dan donasi 400 juta dari umat untuk membayar biaya iklan dan pejabat LPD.
Kita memerlukan solusi yang tepat untuk LPD. Bagaimana pun, fenomena yang terjadi, saat ini, menunjukkan bahwa masyarakat berminat untuk saling membantu dan saling berbagi. Memang demikianlah ajaran agama yang baik: siap untuk berbagi.
Tentu saja, bentuk berbagi bisa beragam: berbagi ide, berbagi tenaga, berbagi kesempatan, dan berbagi kebaikan lainnya.
Maha Sayang
Kasih dan sayang selalu menyatu dalam hidup. Kasih dan sayang adalah satu kesatuan. Untuk keperluan analisis, kita bisa membedakan antara kasih dan sayang. Bahkan, dalam batas tertentu, kita bisa mempertentangkan antara kasih dan sayang.
Agama adalah sumber kasih sayang. Karena, agama memang bersumber kepada Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Sayang. Sehingga, agama senantiasa memancarkan kasih sayang. Umat beragama, senantiasa berusaha untuk, menjadi karakter yang penuh kasih dan sayang.
Anda memberi makan kepada setiap anak yatim di sekitar rumah. Karakter ini adalah karakter pengasih. Selanjutnya, Anda melihat, di antara beberapa anak yatim itu ada yang berbakat matematika. Kemudian, Anda memberinya keistimewaan berupa buku-buku matematika menunjang bangkatnya untuk terus berkembang. Karakter Anda ini adalah karakter penyayang.
Seorang pengasih berbagi kebaikan kepada setiap orang secara umum. Sementara, seorang penyayang berbagi kebaikan secara selektif. Mereka, memilih hanya orang-orang tertentu yang menerima kebaikan.
Dengan dukungan sikap sayang, maka, terbuka peluang anak-anak berbakat untuk menjadi orang sukses. Kebaikan Anda menjadi tepat sasaran. Kebaikan atas nama karakter sayang bisa memiliki rentang waktu cukup lama, bersifat spesifik, dan bahkan kadang menuntut tanggung jawab dari penerima. Program beasiswa adalah contoh program karakter penyayang yang selektif. Di saat yang sama, pemberi beasiswa bisa menuntut tanggung jawab berupa prestasi tertentu dari siswa penerima beasiswa.
Jadi, lebih penting kasih atau sayang?
Cinta Semua
“Jangan pilih kasih!” adalah ungkapan yang benar. Karakter kasih adalah memberi kebaikan kepada semua orang. Tanpa pilih-pilih, semua berhak mendapat kebaikan dari Anda.
“Bantuan harus tepat sasaran!” benar juga. Karakter sayang harus mengarahkan kebaikan Anda tepat sasaran sehingga memberi kebaikan maksimal.
Cinta adalah untuk semua. Kasih sayang adalah untuk semua. Agama mengajarkan agar kita menebar kasih sayang kepada semua. Kita adalah anugerah cinta yang menebar cinta ke seluruh semesta.
Dinamika harmonis antara kasih dan sayang mengantar kita untuk menapaki cinta.
Dengan cinta, kita sadar bahwa kita perlu menebar kebaikan kasih kepada semua. Kebutuhan pokok, pendidikan berkualitas, kebebasan berpendapat, kebebasan memilih kerja, kebebasan berkarya adalah untuk semua orang. Sebagai individu, kita terpanggil untuk berbagi kebaikan sesuai kemampuan. Sementara, pejabat publik memiliki tanggung jawab besar untuk menjamin kebaikan bagi seluruh rakyat.
Dengan cinta, kita sadar bahwa kita perlu menebar kebaikan lebih hanya kepada orang-orang tertentu. Kita menyekolahkan anak yang berbakat sastra ke jurusan sastra, yang berbakat matematika ke jurusan matematika. Mereka adalah anak-anak yang berbeda. Mereka memperoleh kebaikan dari kita dalam ukuran yang berbeda dan dalam bentuk yang berbeda. Pemimpin masyarakat perlu menjamin putra-putri terbaik berhasil mengembangkan bakat-bakat mereka menjadi yang terbaik. Dan, setiap anak memiliki bakat unik dalam dirinya. Sehingga, setiap anak berhak menjadi yang terbaik sebagai jati dirinya.
Agama cinta merangkul kita dalam kasih dan sayang. Agama cinta merangkul kita dan alam raya bersatu dalam keragaman yang nyata penuh cinta.
2.2 Pencerahan
Agama memberi pencerahan menyinari bumi dan seluruh alam semesta ini. Agama adalah sumber inspirasi. Setiap orang berhak memuaskan dahaga hati, melalui pencerahan agama.
Agama adalah sumber pencerahan tiada henti. Ajaran agama, misal sejarah dan kitab suci. mengajarkan prinsip hidup yang baik melalui lambang-lambang tingkat tinggi. Karena itu, terbuka luas ruang interpretasi bagi setiap nurani.
Kisah Adam Hawa
Rangkaian kisah adalah sumber pencerahan untuk setiap orang, di setiap tempat, dan di setiap jaman. Anak kecil bisa mengambil inspirasi dari suatu kisah. Begitu juga anak muda dan orang dewasa. Tentu saja, inspirasi dari suatu kisah bisa beragam. Bagaimana pun tetap mencerahkan.
Kisah Adam dan Hawa termasuk kisah paling terkenal di kalangan umat Islam, Kristen, dan Yahudi. Bahkan, orang dari beda agama juga banyak yang mengenal kisah penuh makna ini.
Adam dan Hawa, tinggal di surga, bebas menikmati apa saja. Kecuali hanya satu, dilarang mendekati pohon terlarang. Kisah detil bisa saja beragam sesuai rujukan masing-masing. Meski, Adam dan Hawa bebas menikmati apa saja di surga hanya dengan satu pantangan, nyatanya, akhirnya, Adam dan Hawa melanggar pantangan itu. Adam dan Hawa memakan buah terlarang itu. Apa hikmah dari kisah ini?
A. Dosa
Manusia adalah tempatnya salah dan dosa. Meski, hanya ada satu larangan saja, pada akhirnya, manusia akan melanggarnya dan berbuat dosa. Pelajaran buat kita adalah kita perlu untuk senantiasa waspada dari berbagai kesalahan. Sekecil apa pun peluang kesalahan itu, manusia tetap mudah tergelincir. Bagaimana dengan kehidupan kita di dunia ini? Bukan hanya satu godaan, tetapi, sampai puluhan dan ratusan godaan?
Ketika makan buah terlarang, Adam dan Hawa sadar bahwa telah berbuat dosa. Langsung, Adam dan Hawa mengaku dosa dan mohon ampun kepada Tuhan. Tuhan, justru, memberi Adam dan Hawa untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Mengapa?
Beberapa orang menafsirkan bahwa Tuhan menghukum Adam dengan menyuruh Adam pindah ke bumi. Padahal, sebelumnya, Adam hidup nikmat di surga. Hal yang mirip sudah terjadi sebelumnya terhadap Iblis. Karena Iblis berbuat dosa maka diusir dari surga. Tetapi, kasusnya berbeda. Iblis justru makin sombong dengan dosanya. Wajar, Iblis menerima konsekuensi berat. Sementara, Adam langsung sadar akan dosa dan langsung bertaubat.
Interpretasi alternatif menyatakan, justru, sadar akan dosa itulah yang menjadikan manusia sebagai manusia sejati. Ketika seorang anak kecil bebas berbuat apa saja tanpa merasa dosa apa pun, maka, mereka adalah memang anak-anak. Sementara, jika anak mulai sadar bahwa ada suatu perbuatan yang merupakan dosa, maka, anak itu mulai jadi manusia sejati. Konsekuensi dari dosa itu menjadi tanggung jawab dirinya.
Lebih hebat lagi, setelah sadar akan dosa, anak itu langsung bertobat dan berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan. Sikap ini menunjukkan bahwa anak itu sudah layak menjadi pemimpin di muka bumi.
“Apakah Anda berdosa?”
Jika jawabannya “tidak” maka barangkali Anda adalah anak-anak. Jika jawabannya “ya” maka saatnya untuk bertobat dan memperbaiki diri.
B. Freedom
Apa itu freedom? Apa itu kebebasan? Apa itu kehendak bebas?
Freedom adalah bebas memilih sikap. Bebas memilih bekerja sebagai petani atau pegawai. Bebas menekuni sastra atau matematika. Bebas mengungkapkan pendapat atau diam seribu bahasa. Bebas adalah bebas memilih apa pun.
Bukan! Semua itu bukan bebas-sejati. Meski contoh-contoh di atas adalah contoh freedom, tetapi, tidak berhasil sebagai bebas-sejati. Mereka hanya bebas-biasa. Bebas-sejati atau freedom-sejati adalah bebas untuk memilih berbuat dosa atau memilih berbuat baik. Bebas.
Jika semua pilihan bebas adalah pilihan yang baik-baik, maka, kucing juga memiliki freedom jenis itu. Kucing bebas untuk tidur, melompat, lari, kawin, makan, dan sebagainya. Memang, kucing tidak bebas untuk berbuat dosa. Kucing, bahkan, tidak bisa berbuat dosa. Semua perilaku kucing adalah biasa-biasa saja.
Manusia memang bebas-sejati, freedom-sejati. Manusia bebas untuk berbuat dosa. Manusia bebas untuk mencuri sampai korupsi. Manusia bebas bebuat dosa sebesar-besarnya. Dan, itulah kebebasan sejati, khas milik manusia.
Tetapi, berbuat dosa bukanlah prestasi. Berbuat dosa tetap saja beresiko dengan ragam konsekuensi. Prestasi adalah, ketika, Anda bebas untuk berbuat dosa, tetapi, Anda memilih berbuat moral, etis, dan akhlaki. Anda memang berprestasi. Anda manusia sejati. Semua penduduk langit dan bumi bangga kepada Anda.
C. Deskripsi
Beberapa orang menafsirkan bahwa Tuhan mengancam Adam bila berbuat dosa maka akan ada hukuman dari Tuhan. Bila demikian, maka, aturan bersifat preskriptif. Maksudnya, bila benar sesuai aturan maka mendapat pahala. Sedangkan, bila melanggar aturan maka mendapat hukuman.
Interpretasi alternatif menyatakan bahwa aturan Tuhan adalah deskriptif. Maksudnya, bila Adam makan buah terlarang maka akan muncul “rasa berdosa” dalam dirinya. Benar saja. Adam merasa berdosa kemudian langsung bertobat. Berikutnya, Adam berhak menjadi pemimpin di bumi.
Iblis berbeda. Dia berbuat salah. Tapi Iblis tidak merasa bersalah. Bahkan, ketika Iblis mendapat hukuman pun, dia tetap tidak mengakui kesalahan. Tentu, Iblis sadar dirinya salah. Dia hanya tidak mau mengakui salah. Selanjutnya, tidak mau bertobat.
Apa pelajaran buat diri kita?
Sebagai manusia, kita terikat hukum moral secara deskriptif – dan tentu preskriptif juga. Perbuatan dosa atau amal kebaikan secara langsung berdampak kepada diri kita secara imanen. Karena deskriptif, maka ada ancaman atau tidak ada, dosa tetaplah dosa. Korupsi, meski tidak tertangkap KPK, tetaplah korupsi yang merusak diri dan seluruh bumi. Dan sewaktu-waktu, tetap bisa ditangkap KPK atau polisi.
Demikian juga, amal kebaikan tetap amal kebaikan meski ada orang lain yang melihat atau tidak. Baik dan dosa tetap terpampang di depan kita. Pilihan ada di tangan kita. Berbuat baik, meski bisa memilih berbuat dosa, adalah prestasi umat manusia.
Tentu saja, masih banyak interpretasi dinamis yang bisa terus berkembang. Agama adalah sumber inspirasi tiada henti.
Kisah Ibrahim
Kita mengenal Nabi Ibrahim sebagai bapaknya para nabi. Karena, kedua putranya, Ismail dan Isaac, sama-sama menjadi nabi. Ibrahim juga sebagai bapak para agama karena semua agama – Islam, Kristen, dan Yahudi – bertemu kepada ajaran Ibrahim. Ditambah lagi, kisah Ibrahim diwarnai paradoks tragedi kemanusiaan.
Ibrahim adalah pejuang kemanusiaan. Ibrahim menghabiskan seluruh umurnya untuk membela kemanusiaan. Tentu saja, Ibrahim pejuang agama. Dia mengajak umat manusia untuk taat mengabdi kepada Tuhan.
Dengan seluruh kebaikan Ibrahim itu, Tuhan tidak memanjakannya. Justru, Tuhan memberi ujian berat kepada Ibrahim. Kelak, ujian berat ini justru mengungkap sosok hebat Ibrahim sepanjang sejarah. Pertama, Ibrahim ingin memiliki anak. Tetapi, Tuhan tidak mengaruniai anak kepada Ibrahim dan istrinya. Bahkan, sampai usia mereka lebih dari 80 tahun, mereka tetap tidak memiliki keturunan.
Kedua, pada usia Ibrahim yang sangat tua, Tuhan baru menganugerahkan seorang putra kepada Ibrahim. Apakah mudah bagi seorang bapak usia di atas 80 tahun mengasuh bayi? Putra Ibrahim tumbuh sebagai anak yang sehat, lucu, dan cerdas. Putra sebagai harapan untuk melanjutkan perjuangan masa depan. Putra adalah yang paling berharga dan paling dicinta oleh Ibrahim.
Ketiga, Tuhan meminta Ibrahim untuk mengorbankan yang paling dicintainya. Di dalam mimpi, Ibrahim melihat dirinya mengorbankan Putranya. Apakah, di dunia nyata, Ibrahim akan mengorbankan Putranya? Atau Ibrahim menolak perintah Tuhan, dengan cara, tidak mengorbankan Putra tercinta?
Kisah selanjutnya, Ibrahim memilih untuk mengorbankan Putra tercintanya. Ibrahim, kemudian, bersama Putranya, berjalan ke tempat yang jauh dari orang untuk melakukan pengorbanan. Ibrahim siap menghunuskan pedang ke leher Putranya. Saat itu, Tuhan mencegah Ibrahim. Ibrahim diperintahkan untuk menjaga Putranya. Tuhan menyuruh Ibrahim untuk berkorban berupa domba sebagai gantinya.
Apa pelajaran yang bisa kita peroleh?
A. Ujian Meningkat
Untuk bertumbuh, kita perlu ujian. Dan, ketika makin tinggi pertumbuhan maka makin tinggi pula ujiannya. Ibrahim muda diuji dengan hidup bersama masyarakat yang sulit. Ibrahim lulus. Ujian ditambah. Ibrahim tidak punya anak sampai tua. Ditambah lagi, harus mengorbankan putranya ketika putranya remaja.
Demikian juga dalam hidup kita. Ujian akan terus bertambah seiring dengan kehidupan kita yang makin maju. Sehingga, jika kita mendapatkan ujian yang berat, maka, itu tandanya hidup kita sedang meningkat. Karena itu, kita perlu bersiap dengan segala ujian. Serta, makin mendekatkan diri dengan Tuhan.
B. Utamakan Tuhan
Mengutamakan perintah Tuhan atau menjaga nyawa anak Anda?
Dalam kisahnya, Ibrahim mengutamakan perintah Tuhan. Yaitu, Ibrahim ikhlas mengorbankan putranya. Meski demikian, pada akhirnya, Tuhan tidak mengijinkan perngorbanan Putra Ibrahim. Tuhan menyuruh untuk berkorban domba. Jadi, ketika kita mengutamakan perintah Tuhan maka Tuhan akan menjaga kita sebagai umat manusia.
Kerena Tuhan Maha Benar maka setiap perintah Tuhan pasti juga benar. Sehingga, umat manusia perlu terus berusaha memahami ajaran Tuhan melalui kitab suci. Ketika terjadi dilema, “Bagaimana cara kita memilih keputusan?”
C. Tidak Mungkin
Tidak mungkin. Kita tidak mungkin mengambil kesimpulan dengan pasti benar. Segala pilihan kita, mungkin saja salah. Bahkan salah besar.
Salah satu interpretasi mengatakan bahwa kisah Ibrahim adalah situasi yang tidak mungkin untuk mengambil keputusan secara pasti benar.
Pertama, Ibrahim tidak mungkin membunuh putranya. Maksudnya, sebagai pejuang kemanusiaan, Ibrahim tidak sah membunuh putranya dengan alasan apa pun. Pihak lain, bisa saja, tidak setuju dengan Ibrahim. Istri Ibrahim dan masyarakat luas bisa menolak keputusan Ibrahim.
Kedua, Ibrahim tidak mungkin menolak perintah Tuhan. Sebagai kesatria ruhani, Ibrahim selalu mengikuti perintah Tuhan.
Dua pilihan di atas, sama-sama tidak mungkin dipilih. Bagaimana cara kita untuk memilihnya? Untuk memilihnya, kita benar-benar perlu mengkaji situasi detil di tempat dan waktu yang tepat. Tidak ada hukum yang berlaku universal dalam situasi dilema seperti itu. Perlu kajian mendalam dengan memanfaatkan seluruh sumber daya, termasuk suara hati dan suara mereka yang jauh di sana, kemudian seseorang mengambil keputusan. Bagaimana pun, keputusan tersebut tetap mengandung resiko besar. Kita, sebagai manusia, sering dalam dilema.
D. Interpretasi
Dalam dilema, kita melibatkan suatu interpretasi dalam satu dan lain bentuk.
Salah satu interpretasi menyatakan bahwa Ibrahim memiliki beragam pilihan dalam interpretasi terhadap mimpinya. Mimpi itu sendiri tidak secara langsung memerintahkan Ibrahim untuk mengorbankan putranya. Sedangkan interpretasi dari mimpi, pertama, merupakan perintah untuk mengorbankan putranya. Atau, interpretasi kedua, mimpi itu merupakan perintah untuk mengorbankan sesuatu paling berharga demi Tuhan.
Bagaimana jika Anda pada posisi Ibrahim? Apakah Anda akan memilih interpretasi pertama atau kedua? Sama-sama beratnya.
Ibrahim memilih interpretasi pertama, dan kemudian, Tuhan menyelamatkan Sang Putra. Jika Anda yang melakukannya, apakah Tuhan akan menyelamatkan putra Anda? Atau, ketika Tuhan memerintahkan Anda untuk membatalkan pengorbanan itu, apakah Anda mendengar perintah Tuhan?
Barangkali, sebagai manusia jaman ini, kita lebih aman memilih interpretasi kedua, yaitu, mengorbankan yang paling berharga demi Tuhan. Interpretasi jenis kedua ini saja sudah sangat berat.
Sekali lagi, kita memiliki sumber inspirasi yang tiada batas dengan mendalami ajaran-ajaran agama sebagai pencerahan.
Kisah Yusuf
Kisah Nabi Yusuf, cucu buyut dari Ibrahim, sangat inspiratif dan kaya akan sumber pencerahan. Kita akan mendiskusikannya sebagian saja.
Yusuf kecil bermimpi, kemudian, menceritakan kepada ayahnya, Nabi Yakub. Ayahnya mengatakan bahwa interpretasi dari mimpi itu adalah kelak Yusuf akan menjadi orang yang sukses dan terpandang. Ayahnya menasehati Yusuf untuk waspada karena akan banyak ujian kepadanya.
Benar saja. Ujian demi ujian menimpa Yusuf kecil, remaja, sampai dewasa. Masih anak-anak, Yusuf dibuang oleh saudara-saudaranya ke dalam sumur. Yusuf bertahan dalam gelapnya sumur tanpa bantuan apa pun seorang diri. Yusuf sadar bahwa dirinya akan menjadi orang terpandang di masa depan. Yusuf tetap sabar dalam dingin sumur gelap tanpa makanan berhari-hari.
Sampai suatu ketika, rombongan pedagang dari Mesir melintas dekat kawasan sumur itu. Mereka bermaksud mengambil air dari sumur. Mereka melihat ada anak kecil, yaitu Yusuf, dalam sumur. Kemudian mereka membawa Yusuf ke atas dan berniat menjual Yusuf sebagai budak. Singkat cerita, Yusuf dijual ke bangsawan Mesir.
Hidup sebagai budak, atau pelayan, di Mesir, adalah kehidupan yang berat bagi Yusuf. Berkali-kali, Yusuf menghadapi fitnah. Termasuk, Yusuf terpaksa harus dijebloskan ke dalam penjara, padahal, Yusuf tidak salah. Bagaimana pun, Yusuf sadar bahwa, di masa depan, dirinya akan menjadi orang terpandang. Atas berbagai macam cobaan, Yusuf tetap sabar dan terus berbuat kebaikan meski berbulan-bulan terkurung dalam penjara.
Suatu ketika, raja Mesir bermimpi dan tak satu pun ahli tafsir mampu menafsirkan makna mimpi raja. Salah seorang pengawal raja mengabarkan bahwa Yusuf memiliki kemampuan untuk menafsirkan mimpi. Yusuf dipanggil raja untuk keluar dari pernjara dan menafsirkan mimpi, “Tujuh musim ke depan, Mesir akan panen raya dengan kekayaan berlimpah. Sedangkan, tujuh musim kemudian akan terjadi paceklik sehingga tidak ada panen sama sekali.”
Rekomendasi Yusuf kepada Raja sangat jelas. Yaitu, melakukan manajemen yang rapi selama 7 tahun panen raya agar bersiap menghadapi masa paceklik 7 tahun kemudian. Karena ini adalah skala dalam satu negara, tentu, bukan tugas yang ringan. Raja mengangkat Yusuf menjadi menteri untuk menangani masalah tersebut. Serta dilakukan kajian ulang terhadap kasus yang menyebabkan Yusuf masuk penjara. Terbukti, Yusuf bersih dari segala fitnah.
Masa panen 7 tahun datang dan disusul 7 tahun masa paceklik. Yusuf menunjukkan disiplin tinggi dan profesionalisme menghadapi beragam kesulitan. Memang benar, pada akhirnya, Yusuf menjadi orang yang sukses dan terpandang sesuai tafsir mimpinya ketika masih anak kecil.
Pencerahan apa yang kita peroleh dari kisah Yusuf?
A. Antisipasi
Makna mimpi mengantisipasi masa depan. Yusuf mengantisipasi masa depan bahwa dirinya akan menjadi orang yang sukses, baik, dan terpandang. Antisipasi masa depan ini yang menarik masa lalu dan masa kini bergerak menuju masa depan. Setiap kejadian masa kini, misal Yusuf dijatuhkan ke sumur, adalah langkah yang makin mendekatkan ke masa depan. Tentu saja, Yusuf bersikap dengan sikap yang sesuai layaknya orang sukses, baik, dan terhormat dalam setiap kesempatan.
Antisipasi beda dengan berharap atau angan-angan. Antisipasi adalah sikap aktif menyongsong masa depan sejak masa kini dan berbekal masa lalu. Sementara, angan-angan hanya berharap masa depan sesuai harapan yang tak kunjung datang.
Dulu, Yusuf mengantisipasi masa depan melalui mimpi. Jaman kita sekarang, barangkali, bisa menyongsong masa depan melalui kajian ilmu – atau juga melalui mimpi. Kita bisa menetapkan masa depan yang kita inginkan dengan ilmu dan cita-cita, misalnya. Kemudian, langkah antisipasi adalah menyiapkan segala yang diperlukan untuk meraih masa depan itu. Dan, bersikap dalam setiap kesempatan sesuai dengan cita-cita masa depan itu.
Apa masa depan paling pasti bagi Anda? Kematian adalah masa depan Anda paling pasti. Bagaimana Anda mengantisipasi kematian dengan cara terbaik?
B. Konsistensi
Yusuf sangat konsisten bersikap positif. Dalam situasi sulit, Yusuf konsisten berpegang pada prinsip moral yang tinggi. Dalam situasi sukses, Yusuf tetap konsisten dan disiplin. Pada tahun ke-10 sudah tampak jelas Yusuf sukses menangani paceklik. Dalam 7 tahun masa panen, bahan makanan disimpan di gudang dengan baik. Beberapa tahun kemudian, masa paceklik tiba, Yusuf dan tim berhasil menyalurkan bahan makanan dengan baik. Pada saat itu, Yusuf sudah menjadi menteri dan kepercayaan raja yang sukses.
Tetapi, Yusuf memiliki masalah yang masih dia pendam. Yusuf rindu dengan ayah ibunya yang sudah puluhan tahun dia tinggalkan di kampung. Di sisi lain, ayahnya juga menanggung derita yang sangat berat karena terpisah dari Yusuf, putra tercinta. Bahkan, ayah mendapat kabar sejak awal bahwa Yusuf sudah mati dimakan srigala. Meski ayah tidak percaya berita itu, tetap saja perpisahan itu sangat berat. Kali ini, mudah bagi Yusuf untuk mengunjungi ayahnya di kampung karena Yusuf adalah pejabat tinggi. Atau, Yusuf bisa saja mengirim pasukan untuk menjemput ayahnya di kampung, kemudian, memboyongnya ayahnya ke pusat kerajaan.
Mengapa Yusuf tidak melakukan itu?
Karena, Yusuf ingin tetap konsisten menyelesaikan tugasnya selama 14 tahun. Yusuf perlu konsistensi dan disiplin tinggi untuk menjamin rakyat tetap cukup pangan di masa paceklik 7 tahun penuh itu. Karena rasa cinta Yusuf ke ayah begitu besar, Yusuf khawatir akan berkurang konsentrasinya kepada urusan rakyat di sisa waktu beberapa tahun ke depan. Biarlah Yusuf dan ayah sama-sama menahan rindu yang begitu menggebu.
Bisakah Anda sekonsisten Yusuf?
Jika Anda disiplin dan konsisten maka pantas bagi Anda untuk sukses dan menjadi orang terhormat.
C. Profesional
Yusuf sangat profesional. Orang, umumnya, mengira menyimpan bahan makanan dalam 7 tahun masa panen dan 7 tahun masa paceklik sebagai tugas yang mudah. Tidak mudah. Itu tugas yang sangat sulit. Apalagi untuk ukuran satu negara sebesar Mesir.
Jika salah tumpuk bahan makan di gudang maka bisa busuk. Makanan tahun pertama, ditambah tahun kedua, dan seterusnya sampai tahun ke-7. Tahun ke-8, masih aman karena makan panen tahun ke-7. Tetapi tahun ke-12 bisa saja makan hasil panen tahun ke-3 yang sudah tersimpan selama 9 tahun. Bahan makanan seperti itu bisa sudah busuk dan rakyat satu negara jatuh kelaparan.
Yusuf bekerja secara profesional dengan perhitungan yang teliti dan matang. Salah satu alternatif penyimpanan adalah dengan FIFO – first in first out. Bahan makan panen tahun ke-1 dikonsumsi pada tahun ke-8, panen tahun ke-2 dikonsumsi tahun ke-9, dan seterusnya. Sehingga, setiap makanan disimpan dalam waktu 7 tahun, tidak lebih. Beberapa jenis bahan makanan daya tahan bisa saja beda-beda. Sehingga metode penyimpanan dan pengolahan perlu beragam.
Alternatif lainnya sebagai berikut. Panen tahun ke-1 dikonsumsi tahun ke-2, panen tahun ke-2 dikonsumsi tahun ke-3, sampai panen tahun ke-7 dikonsumsi tahun ke-8. Semua bahan makanan hanya disimpan dalam 1 tahun saja. Bagaimana dengan tahun ke-9? Tahun ke-9 dan seterusnya tetap konsumsi hasil panen tahun ke-7. Dengan cara ini, panen tahun-7 perlu menghasilkan panen dalam jumlah yang besar. Apakah mungkin?
Benar-benar perlu keahlian dengan profesionalisme tingkat tinggi. Yusuf bersama timnya berhasil menunjukkan profesionalisme yang tinggi itu.
Bagaimana dengan profesionalisme Anda? Dengan profesionalisme yang tinggi, Anda akan menjadi orang yang sukses dan terhormat.
Beberapa contoh kajian di atas adalah sekedar cuplikan bahwa ajaran agama adalah sumber pencerahan yang senantiasa terus bersinar. Tentu, masing-masing orang bisa saja mengembangkan interpretasi yang beragam. Demikianlah, agama memang kaya akan pengajaran.
2.3 Sekular
Agama dan sekular adalah sesuatu yang berbeda. Mereka bisa saling bertentangan. Pun mereka, agama dan sekular, bisa seiring sejalan. Sekular bisa menerima pandangan agama sejauh bisa dikomunikasikan dengan baik. Sekular juga menghormati kebebasan umat agama untuk ibadah.
Tentu saja, pandangan sekular terhadap agama tidak seragam. Mungkin saja ada sekular yang memusuhi agama. Maka, perlu sikap saling memahami dari berbagai pihak.
Dari sisi agama pun, agama memberi kebebasan kepada umat manusia. Agama membebaskan umat manusia untuk memilih jalan kebaikan masing-masing. Tentu, agama memberi petunjuk cara hidup yang benar bagi umat manusia. Dan, agama tetap menghormati perbedaan sikap masing-masing individu.
Kita bisa mengelompokkan pandangan sekular menjadi tiga: netral, keras, dan halus.
Sekular netral adalah pandangan sekular yang bersikap netral terhadap agama. Maksudnya, dalil agama bisa dipakai sebagai argumen sejauh dalil tersebut bisa dikomunikasikan secara publik dan dapat diterima. Dalil agama dan non-agama sama-sama memiliki kedudukan netral untuk dikaji secara kritis demi kebaikan umat manusia dan semesta.
Sekular keras adalah pandangan sekular yang menolak dalil agama. Argumen berdasar dalil agama ditolak. Jika seseorang berniat menggunakan dalil agama maka perlu mengubahnya menjadi “bahasa-sekular”, sedemikian hingga, bida dikritisi masyarakat luas. Sekular keras bisa saja lebih dekat ke ateis atau, bahkan, anti terhadap agama. Tentu saja, masing-masing orang memiliki keragaman pengalaman dalam menghadapi agama.
Sekular halus adalah pandangan sekular yang menerima dalil agama sebagai sumber inspirasi bagi kebaikan umat manusia dan semesta. Umat manusia perlu mendalami kehidupan beragama, kemudian, mengambil inspirasi dari ajaran agama untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Dengan pandangan ini, agama tumbuh selaras seiring dengan perkembangan kemanusiaan.
Singkatnya, agama tetap kokoh meski ada pandangan sekular di beberapa tempat. Bahkan, agama terus berkembang dinamis.
3. Masa Depan Agama
Agama masa depan adalah agama pembebasan, bernuansa dinamika, dan senantiasa berputar.
3.1 Haus Dogma
Agama tetap diperlukan sampai hari ini. Agama tetap berperan penting di masa depan. Agama tetap menjadi harapan di masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Beberapa pemikir mengira bahwa orang-orang akan meninggalkan agama karena ilmu pengetahuan dan teknologi makin maju. Dengan sains, semua misteri alam raya bisa diungkap. Akibatnya, manusia tidak perlu lagi mitologi. Dan, manusia juga tidak perlu lagi agama. Tetapi, benarkah seperti itu yang ada?
Di beberapa tempat, ada orang yang meninggalkan agama atau dari kecil memang tidak beragama. Di beberapa tempat lainnya, justru, orang berbondong-bondong memeluk agama. Agama, masih, terus tumbuh.
Kita adalah subyek. Saya adalah kulo. Anda adalah subyek. Subyek kulo tidak pernah puas hanya dengan sains dan teknologi. Kulo membutuhkan yang lebih tinggi. Kulo butuh doktrin atau dogma. Barangkali, bentuk dogma bisa berbeda-beda seiring waktu berjalan. Bagaimana pun, manusia membutuhkannya, dalam satu dan lain variasi. Manusia haus dogma. Singkatnya, di masa depan, manusia tetap butuh agama.
3.2 Pembebasan
Agama, di awal kehadirannya, adalah gerakan pembebasan. Pembebasan dari kebodohan, pembebasan dari kebohongan, dan pembebasan dari penindasan. Dalam perkembangannya, agama bisa menempuh jalan aneka ragam. Di masa kini dan masa depan, agama tetap bisa menjadi gerakan pembebasan bagi umat manusia.
A. Kodifikasi Politik
Agama membebaskan umat manusia dari kebodohan. Agama memberi percik pencerahan setiap saat. Seiring waktu, ajaran-ajaran agama berkembang. Langkah wajar adalah membukukan ajaran agama tersebut. Di satu sisi, kodifikasi ajaran agama dalam bentuk buku, memberi kemudahan bagi umat untuk memperoleh pencerahan dari agama. Di sisi lain, kodifikasi dapat melumpuhkan ajaran agama menjadi hanya sekedar konsep yang tertulis.
Kemudian, kodifikasi ajaran agama menjadi pedoman menentukan benar atau salah. Segala sesuatu yang melanggar kodifikasi dianggap salah. Sementara, pihak-pihak tertentu memanfaatkan kodifikasi sebagai dalil untuk mengeruk beragam keuntungan materi. Agama berubah menjadi alat kepentingan tertentu bagi pihak tertentu.
Lebih parah lagi, ketika, kepentingan politik ikut bermain. Penguasa menetapkan aliran kodifikasi tertentu saja yang sah. Kodifikasi yang lain dianggap sesat. Dengan cara ini, penguasa memperoleh dukungan politik untuk mencengkeramkan kekuasaan. Penguasa korup bisa mengenakan topeng agama untuk menutupi dosa mereka.
Bagaimana pun, kodifikasi ajaran agama tetap mengandung ajaran agama. Dari kodifikasi itu, tetap, muncul percik-percik cahaya cinta. Suatu cahaya yang membebaskan umat manusia. Cahaya yang menjadikan kodifikasi itu kembali menjadi salah satu sumber ajaran agama terbaik.
B. Kebebasan
Jelas. Bebas. Agama membebaskan umat manusia. Agama adalah kebebasan. Agama adalah pembebasan. Dengan kebebasan, manusia berkonsekuensi menerima tanggung jawab. Tanpa kebebasan, maka, tidak ada tanggung jawab. Tanggung jawab memastikan adanya kebebasan.
Pertama, agama membebaskan umat manusia untuk memeluk suatu agama. Jika seseorang memeluk agama A maka dia bertanggung jawab sesuai ajaran A. Jika seseorang memeluk agama lain maka dia bertanggung jawab terhadap agama lain tersebut. Jika, seandainya, seseorang tidak beragama maka tetap saja dia harus bertanggung jawab atas pilihannya itu.
Perjalanan sejarah, tentu saja, bisa berbeda. Seorang penguasa bisa saja memaksa penduduk untuk memeluk agama A. Mereka yang tidak memeluk agama A diusir dari negara tersebut. Atau, minimal mereka kena diskriminasi sebagai minoritas, misalnya. Aliran tertentu menafsirkan ajaran A sebagai diskriminatif seperti itu. Tetapi, kita bisa mengkaji lebih mendalam tentang ajaran agama A dengan interpretasi lebih kuat: ajaran agama A adalah agama pembebasan. Agama A memberi kebebasan kepada umat manusia.
Beberapa agama bersifat ekspansif, yaitu, ada ajaran untuk mengajak orang lain memeluk agama tersebut. Hal seperti itu wajar. Karena, ketika kita yakin dengan kebenaran dan kebaikan agama A, maka, kita mengajak teman-teman kita memilih yang benar dan baik. Tentu saja, tetap dalam koridor kebebasan. Sementara, agama yang lain ada yang bersifat eksklusif, dalam arti, agama tersebut hanya diperuntukkan kelompok tertentu. Dengan demikian, mereka mencukupkan diri kepada kelompoknya sendiri. Bahkan, kelompok lain tidak boleh masuk dengan memeluk agama khusus tersebut. Kedua jenis agama di atas, sama-sama, menjaga kebebasan beragama.
Kedua, agama memberi kebebasan di dalam agama. Bahkan, ketika seseorang sudah masuk agama A, misalnya, dia tetap bebas memilih banyak hal berdasar agama A. Dia bebas memilih madzhab X atau Y atau Z. Kemudian, di dalam madzhab itu, dia masih bebas menjalani ibadah sesuai aturan atau melanggarnya. Tentu saja, dia harus bertanggung jawab atas konsekuensi pilihannya. Beribadah memperoleh pahala, sementara, melanggar bisa mendapat dosa.
Bagaimana dengan tindakan mencuri, menipu, atau korupsi? Tentu saja, agama melarang umat manusia untuk mencuri atau korupsi. Tetapi, manusia bebas saja mau mencuri atau tidak. Kemudian, dia harus bertanggung jawab atas konsekuensi kebebasan itu di dunia dan akhirat. Agama memberi petunjuk kepada umat manusia agar memilih hidup yang benar, memilih jalan yang lurus. Bagaimana pun, pilihan bebas ada di tangan Anda.
Yang menarik, agama sering memberi beban kepada manusia, justru, tujuannya agar manusia menjadi bebas. Manusia wajib puasa agar dia terbebas dari nafsunya. Manusia wajib sedekah agar dia terbebas dari serakah. Manusia wajib berdoa agar dia terbebas dari beban tiada tara. Anda memang manusia bebas.
C. Sumber Ruhani
Pancaran spirit terus menerus bersinar. Air mancur ruhani terus mengalir. Sisi ruhani terdalam umat manusia menembus setiap batas. Manusia adalah bebas.
(1) Alam fenomena. Adalah alam yang kita alami biasa setiap hari. Pagi, bangun tidur, mandi, makan, lalu kegiatan. Malam hari, tidur lagi. Terjadi seperti itu berulang kali. Di dunia fenomena bercampur antara pengetahuan dan kebodohan. Bercampur antara kepastian dan keraguan. Bercampur antara kebaikan dan kejahatan. Segala yang ada di dunia fenomena adalah sarana bagi manusia untuk bertumbuh menjadi lebih baik secara dinamis. Tetapi, justru banyak manusia yang terjebak pada kenikmatan sesaat di dunia fenomena. Agama membebaskan umat dari jeratan fenomena dan memastikan agar dunia fenomena menjadi bekal yang sempurna bagi umat manusia.
(2) Alam noumena, finitude, kepastian, hakikat. Kebaikan pasti berbuah kebaikan dan dibalas kebaikan. Kejahatan pasti dibalas dengan setimpal. Alam noumena ini pasti dan ada di sini, saat ini. Serta kekal sampai jaman abadi. Hanya saja, orang pada umumnya tidak bisa melihat noumena dengan jelas. Yang tampak bagi mereka adalah fenomena, ketidakpastian. Perlu ilmu yang tinggi agar kita bisa melihat noumena – yang benar adalah benar. Agama memastikan bahwa hukum hakikat berlaku secara benar, adil, dan baik. Ketika manusia bebas menentukan sikap, maka, dunia noumena memastikan hasilnya.
(3) Infinity, tak-terbatas, tak-hingga, chaos, anarki, bebas. Mengapa manusia bebas? Karena manusia adalah infinity, tak-terbatas. Anda bebas memilih apa saja. Anda bebas berpikir apa saja. Anda bebas sebebas-bebasnya. Bahkan chaos atau anarki. Tetapi, mengapa manusia tidak bebas terbang tinggi? Karena, selain infinity, manusia berada dalam alam fenomena dan noumena. Bagaimana pun, manusia tetap bebas menyikapi fenomena dan noumena. Agama menyadarkan manusia akan sikap bebasnya dan mengingatkan manusia agar menerapkan kebebasan dengan baik.
(4) Absolut, Mutlak, Tak-Terperi. Tuhan adalah Sang Maha Mutlak, Sang Maha Bebas, Sang Absolut. Bahasa tidak bisa membahas Absolut. Angka tidak bisa menghitung Absolut. Kita tidak mampu menggambarkan Sang Absolut. Agama membimbing umat manusia untuk lebih dekat kepada Absolut.
Dengan empat prinsip di atas, agama mendorong umat manusia untuk menjadi bebas dan mebebaskan.
Beberapa orang bisa saja fokus ke prinsip (2) noumena yang bersifat pasti atas nama agama. Dengan cara itu, mereka bisa mengklaim sebagai pasti paling benar dan pihak lain sebagai salah. Tetapi, prinsip (2) tetap berhubungan dengan prinsip (1) fenomena sehingga selalu ada dinamika dan ketidakpastian. Serta, terhubung dengan prinsip (3) infinity sehingga ada kebebasan melintasi batas. Dan, apalagi jika kita sadar bahwa segalanya bersumber dari prinsip (4) Absolut, maka, wajar bagi kita untuk senantiasa memohon bimbingan melalui ajaran agama.
(5) Nothing, void, hampa, ketiadaan. Prinsip ini menyatakan, “Tiada yang nyata kecuali Sang Maha Nyata.” Manusia bebas memilih apakah akan menghadapkan wajah kepada Sang Maha Nyata atau malah ke arah kehampaan. Bagaimana pun, menatap kehampaan bisa menyadarkan manusia akan betapa pentingnya kenyataan.
3.3 Simbol Dinamika
Agama kaya akan simbol, atau perlambang. Karenanya, masing-masing orang bisa memperoleh inspirasi tiada henti dari ajaran agama. Tentu saja, agama juga mengajarkan tentang fakta. Bagaimana pun, fakta-fakta di masa lalu yang penuh makna itu, menjadi sumber inspirasi dinamis di masa kini.
Makna Tak-Terbatas
Apa makna dari simbol? Makna dari simbol atau perlambang adalah makna yang tak-terbatas. Ketika kita memaknai simbol agama, misal ajaran kitab suci, maka kita akan memukan makna vertikal dan horisontal yang sama-sama infinity.
“Perhatikan biji yang tumbuh jadi benih. Kemudian, tumbuh akar, batang, dan daun. Tiba saatnya, menjadi pohon yang menjulang tinggi, lebat, dan akhirnya berbuah. Apakah kamu yang menciptakan itu?”
Makna vertikal mengajak kita mengkaji benih tumbuhan sampai mengembangkan rekayasa genetika. Sehingga, kita bisa mengembangkan bibit unggul yang kualitas dan kuantitas benih sangat bermanfaat bagi umat manusia. Pada saatnya, benih itu menghasilkan buah yang meningkatkan taraf hidup umat manusia. Apakah kamu yang menciptakan itu? Tidak. Manusia tidak bisa menciptakan apa-apa. Manusia hanya bisa mempelajari dan rekayasa. Tuhan adalah Sang Maha Pencipta.
Makna horisontal lebih leluasa. Benih adalah simbol diri kita yang masih janin kemudian menjadi bayi. Lalu, tumbuh besar menjadi anak-anak, remaja, dan dewasa. Sebagai manusia, kita perlu berbuah, memberi manfaat nyata bagi sesama umat manusia dan semesta. Bisa juga, makna horisontal benih adalah proses kita mengembangkan suatu usaha bisnis digital. Awalnya hanya ide sebagai benih. Kemudian, melakukan beberapa eksperimen di media sosial. Dan akhirnya, berkembang menjadi bisnis digital yang berbuah memberi manfaat kepada masyarakat luas. Apakah kamu yang menciptakan itu semua? Tidak. Manusia tidak bisa menciptakan apa-apa. Manusia hanya mempelajari, mencoba-coba, dan rekayasa. Tuhan adalah Sang Maha Pencipta.
Makna vertikal dan horisontal yang tak terbatas, seperti di atas, mendorong umat manusia untuk terus bergerak dinamis.
Simbol Konkret
Meski bahasa simbol atau perlambang, bisa saja berupa ungkapan konkret. Benih adalah simbol konkret. Perahu Nabi Nuh juga simbol konkret. Tongkat Nabi Musa sama konkretnya.
Di satu sisi, simbol konkret, misal perahu, bisa kita pahami dengan mudah. Bahkan, anak-anak bisa memahami perahu Nabi Nuh dalam ukuran besar untuk menyelamatkan umat manusia pilihan dan berbagai macam binatang dari bencana banjir. Di sisi lain, simbol konkret tetap saja bisa bermakna dinamis.
Perahu bisa saja simbol dari perjalanan hidup kita. Atau, perjalanan umat manusia. Atau, simbol bagi perjalanan bumi yang terapung-apung di lautan galaksi semesta raya. Ajaran agama penuh dinamika.
Dinamika Individu
Masing-masing individu bisa memaknai simbol sesuai kapasitas dan kebutuhannya. Yang menarik adalah makna individu itu beragam dan tidak bisa diseragamkan. Ketika seorang guru menceritakan tentang perahu Nabi Nuh, maka, para siswa memaknai perahu dengan imajinasi yang berbeda-beda. Keragaman makna ini justru menunjukkan kekayaan khasanah umat.
Di satu sisi, kita perlu belajar untuk memaknai secara tepat, presisi, dan akurat. Di sisi lain, makna itu sendiri terus bergerak seiring waktu dan tempat. Sehingga, segalanya penuh warna dinamika. Terhadap keragaman makna, kita perlu saling menghargai dan mengembangkan sikap saling hormat.
4. Diskusi
Menimbang begitu penting peran agama bagi umat manusia, sepantasnya, kita membahas agama cinta dengan diskusi yang lebih mendalam di bagian ini.
4.1 Ringkasan
Kita bisa memandang agama sebagai urutan 123: (1) agama formal, (2) spirit agama, (3) pembebasan. Sebaliknya, kita bisa juga memandang agama sebagai urutan 321: (3) pembebasan, (2) spirit agama, (1) agama formal. Kedua urutan di atas sama baiknya, tetapi, berbeda dalam kadar resiko.
(1) agama formal | (2) spirit agama | (3) pembebasan |
Urutan 123 atau 321 sama baik karena sama-sama bergerak lengkap. Resiko muncul ketika gerakan hanya berhenti di langkah tertentu saja. Misal ketika 123 hanya berhenti di (1) saja, maka, agama berubah menjadi formalisme belaka. Agama menjadi sekedar identitas diri, di mana, orang yang beragama lain bisa dianggap sebagai orang berbeda atau bahkan sebagai orang yang sesat. Cara pandang seperti ini, beresiko, memunculkan kerusuhan dalam masyarakat.
Agama bisa juga direduksi menjadi hanya ritual ibadah dan legalitas dalam beberapa aspek. Bahkan, dalam identitas satu agama yang sama, bisa saja terjadi pertikaian saling menyesatkan karena perbedaan sudut pandang terhadap ritual, misal penetapan kalender hari raya. Bisa juga, aspek legal agama digunakan untuk mengeruk keuntungan bagi pihak tertentu dan menindas pihak yang lemah.
Padahal, urutan 123 tetap sempurna ketika kita berlanjut sampai (2) spirit agama dan (3) pembebasan.
Resiko urutan 321 juga sama besar ketika, misal, berhenti hanya di (3) pembebasan. Agama direduksi hanya urusan pemahaman dan hati belaka. Mereka bebas menjalani agama, yang penting, bersumber dari suatu penafsiran tertentu. Mereka, bebas, tidak harus melakukan ritual-ritual ibadah. Mereka, bebas, tidak harus menghormati situs-situs agama masa lalu. Apa yang terjadi kemudian?
Mereka menemukan hidup yang hampa. Kebebasan tanpa pijakan yang kuat menjadikan mereka hanya melayang-layang di semesta. Mereka terlunta-lunta dalam kembara belantara pikirannya. Kebebasan tetap membutuhkan spirit agama dan ritual agama.
Kita, umat manusia, membutuhkan agama cinta. Agama yang sempurna formal, spirit, dan pembebasan.
4.2 Filosofi Roda Tiga
Kita akan mengingat kembali konsep filosofi siklis roda tiga. Pemahaman kita bersifat siklis. Bagai roda berputar 123, lanjut 123, dan seterusnya 123. Arah putaran bisa saja sebaliknya, 321 lanjut 321, dan seterusnya.
Agama masa depan adalah agama cinta, agama pembebasan, dan agama dinamika.
Kehidupan agama kita berputar dinamis: (1) agama formal, (2) spirit agama, (3) pembebasan, (1) agama formal, (2) spirit agama, dan seterusnya.
Alternatif arah putaran sebaliknya, sama-sama sah: (3) pembebasan, (2) spirit agama, (1) agama formal, (3) pembebasan, (2) spirit agama, dan seterusnya.
Sejak awal, agama adalah pembebasan. Di masa kini, agama adalah pembebasan. Di masa depan, agama adalah pembebasan. Agama adalah pembebasan dinamis yang berputar sempurna.
4.3 Agama Cinta Absolut
Nilai kebenaran agama adalah benar absolut, sudah kita bahas di bagian sebelumnya, karena merupakan kebenaran aksiomatik. Dengan konsisten mengikuti aturan logika, maka nilai kebenaran ajaran-ajaran agama adalah benar absolut. Ketika agama Islam, misalnya, mengajarkan pemeluknya untuk sholat tiap hari maka itu adalah ajaran yang benar absolut.
Yang unik dari kebenaran absolut agama adalah, di saat yang sama, bersifat dinamis. Jadi, ajaran agama bernilai benar mutlak dan dinamis. Karakter seperti ini selaras dengan karakter cinta yang kreatif. Cinta selalu benar dan dinamis. Agama memang agama cinta.
Pertama, agama benar absolut atau benar mutlak karena agama sebagai sistem aksiomatik. Perintah sholat tiap hari, misalnya, didasarkan pada kitab suci dan riwayat. Dari teks kitab suci, dan sejarah, para ahli agama menyimpulkan bahwa sholat adalah kewajiban tiap hari. Demikian juga, misalnya, menolong orang lemah adalah kewajiban bagi setiap orang beragama berdasar teks kitab suci. Dalam sistem aksiomatik seperti itu, perintah sholat dan perintah menolong orang lemah adalah selalu sah.
Kedua, agama selalu dinamis karena sistem aksiomatik agama dibangun berdasar “interpretasi” terhadap teks kitab suci dan sejarah. Kita tahu bahwa karakter interpretasi selalu dinamis terhadap ruang dan waktu. Dengan demikian, agama selalu dinamis terhadap ruang dan waktu. Ditambah lagi, ajaran agama bisa saja bersifat umum, sehingga pada tataran praktis, perlu penyesuaian di sana-sini yang dinamis.
Usaha untuk membuat interpretasi yang baku terhadap ajaran agama, tentu saja, bisa dilakukan. Standarisasi ajaran baku ini, jika berhasil, akan mampu bertahan dalam jangka waktu yang, relatif, pendek. Sebaliknya, dalam jangka panjang, pasti, kita perlu melakukan beragam revisi karena situasi dan kondisi yang sudah berubah. Kita perlu revisi terhadap setiap standar yang ada.
Ketiga, agama selalu dinamis karena agama mampu mengantisipasi masa depan dengan bahasa lambang. Agama mampu meramalkan masa depan umat manusia. Agama mampu meramalkan masa depan alam semesta. Tentu saja, semua ramalan ini berupa bahasa-bahasa lambang atau simbol. Meski, kadang menggunakan ungkapan konkret, tetap saja, ungkapan tersebut bisa dipandang sebagai lambang.
Dengan bahasa lambang, umat manusia mampu mereguk aliran air inspirasi tiada henti dari teks kitab suci dan ajaran agama secara umum. Inspirasi demi inspirasi mendorong agama bergerak lebih dinamis lagi.
Saatnya, umat manusia untuk jatuh cinta, lagi, kepada agama yang suci. Agama yang selalu dinamis. Agama yang menebarkan cinta untuk seluruh semesta raya.
Tinggalkan komentar