Setiap sisi kehidupan manusia adalah cinta. Setiap butir debu adalah debu cinta. Setiap hembusan nafas adalah nafas cinta. Ekonomi adalah ekonomi cinta.
Saya memberi uang kepada Rara yang cantik adalah ungkapan cinta. Saya mengasuh Rara sejak bayi adalah manifestasi cinta. Saya cinta Rara adalah ungkapan cinta. Rara telah menyemai cinta di hatiku bahkan ketika dia masih dalam kandungan istriku. Rara telah memberiku cinta dan aku membalasnya dengan cinta pula.
Semua transaksi adalah transaksi cinta.

Kita bisa menduga ekonomi cinta, bisa berbelok, menjadi ekonomi dusta. Menjadi ekonomi nafsu semata. Menjadi ekonomi serakah. Menjadi ekonomi mewah. Pada bagian ini, kita akan membahas ekonomi cinta yang dibelokkan menjadi ekonomi nafsu. Untuk kemudian, kita mencoba merumuskan beberapa solusi meluruskan kembali agar menjadi ekonomi cinta.
1. Ekonomi Libido Serakah
1.1 Barter
1.2 Uang Emas
1.3 Uang Digital
1.4 Harga Raga Jiwa
1.5 Politik Uang
2. Ekonomi Angka Semata
2.1 Pertumbuhan bukan Profit
2.2 Dominasi bukan Prestasi
2.3 Cinta Angka
3. Penjara vs Sasana
3.1 Cahaya Ekonomi
3.2 Ruang Temu Barzakh
3.2.1 Solusi Pribadi
3.2.2 Solusi Sistem
3.2.2.1 Kapitalis
3.2.2.2 Sosialis
3.2.2.3 Teonomis
3.3 Sarana Cinta
3.3.1 Pertumbuhan Ekosistem
3.3.2 Rasio Gini Palma
3.3.3 Rasio Power Paman
Di bagian awal, kita mengakui bahwa ekonomi adalah kebutuhan umat manusia yang tidak bisa ditolak. Ekonomi adalah sinar dari cahaya cinta umat manusia itu sendiri. Sayangnya, sistem ekonomi dibelokkan oleh libido serakah setelah umat manusia menemukan konsep uang. Pembelokan ini makin parah dengan berkembangnya uang digital. Seperti hal lainnya, uang digital sendiri, sejatinya adalah sinar cinta.
Implikasi lanjutannya, pembelokan ekonomi cinta makin parah ketika uang bisa digantikan oleh angka-angka belaka – misal uang digital, valuta asing, saham, dan lain-lain. Pertumbuhan ekonomi bisa saja hanya bermakna bagi kelompok kaya. Pertumbuhan ekonomi bukan pertumbuhan ekonomi real. Hanya pertumbuhan angka-angka bagi kelas kaya. Bagaimana pun, angka-angka tetap bermakna sebagai kemewahan dunia.
Di bagian akhir, dari pesimis bercampur optimis, kita akan mencoba merumuskan solusi ekonomi cinta. Ekonomi yang seharusnya menjadi sarana kemajuan umat manusia telah berubah menjadi penjara bagi umat manusia. Kita sudah memiliki beragam teori dan alat ukur untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil makmur. Pertumbuhan ekonomi, tentu, menjadi ukuran paling utama. Di saat yang sama, kita perlu menjamin pemerataan dan menghapus kesenjangan yang ada. Rasio gini dan rasio power paman menjadi andalan utama. Dengan demikian, kita berhak optimis untuk mengarahkan ekonomi sebagai jalan cinta, mengubah penjara menjadi sasana cinta.

1. Ekonomi Libido Serakah
Di bagian awal, kita mengakui bahwa ekonomi adalah kebutuhan umat manusia yang tidak bisa ditolak. Ekonomi adalah sinar dari cahaya cinta umat manusia itu sendiri. Sayangnya, sistem ekonomi dibelokkan oleh libido serakah setelah umat manusia menemukan konsep uang. Pembelokan ini makin parah dengan berkembangnya uang digital. Seperti hal lainnya, uang digital sendiri, sejatinya adalah sinar cinta.
1.1 Barter
Sebelum ditemukan uang, umat manusia berdagang dalam sistem ekonomi barter. Suatu barang ditukar dengan barang lain sesuai kepentingan masing-masing. Jika Anda punya mangga berlebih, tetapi, Anda membutuhkan pisang maka Anda bisa menukar mangga Anda kepada orang yang punya pisang dan dia membutuhkan mangga dari Anda. Tidak mudah menemukan orang semacam itu kan? Maka, kita menciptakan pasar, di mana, banyak orang berkumpul saling bertukar barang. Di pasar, proses barter menjadi lebih mudah.
Dari sisi realitas, sistem barter ini memberi banyak keuntungan. Pertama, barter lebih menjamin pertukaran yang saling bermanfaat. Beda dengan pertukaran uang yang kadang tidak mengutamakan manfaat tetapi lebih mengutamakan profit. Kedua, barter mendorong pemerataan manfaat dan keadilan sosial. Masing-masing pihak mendorong hak miliknya untuk dimanfaatkan oleh pihak yang membutuhkan. Ketiga, barter mencegah nafsu serakah. Karena menumpuk hak milik tidak serta merta menambah manfaat. Justru, manfaat kita peroleh ketika kita memiliki sesuatu pada kadar yang tepat – tidak terlalu lebih, tidak terlalu kurang.
Kelemahan utama barter adalah tidak efisien, tidak mudah, dan memerlukan waktu dan energi yang lebih besar. Di sisi lain, barter juga tidak mencegah manusia dari kejahatan. Manusia, selalu, punya cara untuk berbuat jahat apa pun sistem ekonominya. Tentu saja, manusia juga selalu punya cara untuk berbuat baik dalam segala situasi. Karena kelemahan-kelemahan barter tersebut maka barter mulai ditinggalkan dan diganti dengan penggunaan uang.
1.2 Uang Emas
Koin emas atau uang emas barangkali menjadi solusi praktis dari kelemahan barter. Nilai emas diakui oleh masyarakat luas. Di saat yang sama, emas bersifat kuat dan stabil, tidak mudah berubah. Dan, yang lebih utama, koin emas bersifat praktis. Maksudnya 1 gram emas, saat ini, bernilai sekitar 1 juta rupiah. Sehingga, hanya dengan 1 keping emas, kita bisa makan malam sekeluarga di restoran mewah. Atau dengan 5 gram emas, kita bisa membeli seekor kambing besar.
Ahli ekonomi kuno sudah menyadari, dengan ditemukannya koin emas maka akan lebih mudah terjadi penumpukan kekayaan kepada hanya segelintir orang. Untuk menjadi kaya raya, seseorang tidak harus memiliki 100 ekor kambing atau 200 ekor sapi. Cukup hanya dengan 10 kg emas maka Anda sudah menjadi kaya. Dan 10 kg emas itu tidak jauh beda dengan 10 kg beras dalam hal ukuran volume dan lainnya. Sehingga, Anda bisa menjadi kaya raya hanya dengan menyimpan 100 kg emas di pojok kamar Anda. Tidak tampak mencolok dari penampilan luar rumah.
Benar saja, orang kaya makin mudah kaya dengan uang emas. Terutama para penguasa, raja, menjadi mudah menumpuk kekayaan dengan cara menguasai emas-emas yang ada di dunia. Para pejabat dan pegusaha besar menjadi kaya raya dengan cara yang sama, menguasai emas yang ada.
Diogenes (404 – 323 SM) adalah kritikus terhadap uang emas di masa-masa awal. Diogenes mengaku dirinya adalah pewaris Socrates yang sebenarnya – bukan Plato. Tetapi, kita lebih mengenal Plato sebagai murid utama dari Socrates karena Plato banyak menulis buku tentang Socrates dan filsafat. Sementara, Diogenes, tampaknya, tidak menulis buku sebanyak Plato. Bagaimana pun, Diogenes adalah pendiri filosofi sinisme: hidup sederhana, merdeka, terbebas dari ikatan dunia materi.
Suatu ketika, kaisar Aleksander Agung, murid dari Aristoteles, penasaran ingin menemui Diogenes yang pemikiran filosofinya begitu unik. Dengan dikawal pasukan khusus, Aleksander mendekati Diogenes pagi itu. Diogenes tetap cuek dengan kedatangan kaisar Aleksander. Diogenes tetap menikmati pagi dengan berjemur sinar matahari.
“Apakah Anda Diogenes?” tanya kaisar.
“Bisakah Anda bergeser sedikit,” jawab Diogenes, “karena tubuh Anda menghalangi cahaya matahari.”
“Seandainya di dunia ini, saya tidak terlahir sebagai Aleksander maka saya ingin menjadi Diogenes,” kaisar melanjutkan.
Diogenes menjawab, “Seandainya saya tidak terlahir sebagai Diogenes, maka, saya ingin terlahir sebagai Diogenes.”
Diogenes mengkritik uang emas karena yang terpenting dari uang bukan nilai emasnya tetapi nilai “trust” atau nilai kepercayaannya. Diogenes mengusulkan agar uang emas diganti dengan uang logam atau uang kertas yang sekarang kita kenal sebagai uang fiat. Nilai dari uang kertas, sebagai uang fiat, adalah sesuai dengan tulisannya. Meski pun nilai kertasnya sendiri barangkali hanya kecil. Karena nilai uang kertas ini dijamin oleh negara atau oleh masyarakat maka tetap terpercaya, trust.
Tentu saja, masyarakat di masa itu tidak bisa memahami maksud uang fiat yang diusulkan oleh Diogenes. Diogenes memang cerdik. Kritik terhadap uang emas bisa dibuktikan secara nyata. Setiap menemukan uang emas maka Diogenes menipiskan sedikit bagian pinggirnya sehingga menghasilkan serbuk emas. Orang tidak mengira bahwa uang emas itu sedikit berkurang beratnya (massanya). Hasil serbuk emas dari koin ini kemudian dikumpulkan menjadi jumlah yang cukup besar. Banyak orang meniru perilaku Diogenes. Orang-orang itu tidak perlu kerja keras menambang emas, cukup mengumpulkan serbuk emas dari koin-koin yang beredar. Mereka lebih cepat kaya dengan cara itu.
Uang emas terbukti tidak bisa dipertahankan!
Secara bertahap, masyarakat meninggalkan uang emas berpindah ke uang logam dan uang kertas seperti sekarang ini. Dan, di era media sosial ini, kita mulai menyaksikan hadirnya uang digital.
Apakah uang emas, kemudian berkembang menjadi uang kertas, adalah lebih baik bagi sistem ekonomi? Apakah uang kertas menjadikan masyarakat lebih adil makmur? Apakah manusia menjadi lebih terbuka untuk saling cinta?
Uang kertas terbukti lebih efisien dan praktis. Sehingga, roda ekonomi lebih mudah berkembang dengan kecepatan tinggi. Siapa pun Anda bisa menjadi kaya dengan menguasai uang kertas. Cukup hanya dengan memiliki uang kertas 1 koper maka Anda sudah menjadi kaya raya. Lebih praktis lagi, uang kertas bisa saja cukup disimpan dalam rekening bank. Anda bisa menjadi kaya raya hanya dengan memiliki rekening yang berisi catatan uang dalam jumlah besar.
SDG Report melaporkan, pada tahun 2021, ekonomi di seluruh dunia mengalami kemajuan. Memang, pada tahun 2020, ekonomi dunia sempat jatuh akibat pandemi. Tetapi, kemudian, ekonomi dunia bangkit lagi. Dalam laporan yang sama, SDG menyatakan meskipun ekonomi di dunia makin maju, di saat yang sama, kesenjangan ekonomi makin curam. Padahal, kesenjangan ekonomi berbahaya bagi umat manusia. Bukan hanya berbahaya bagi kelompok miskin, kesenjangan ekonomi, juga berbahaya bagi kelompok kaya. Sewaktu-waktu peradaban umat manusia bisa runtuh akibat kesenjangan ekonomi yang makin menganga ini. Kita butuh solusi.
Apakah kita perlu kembali ke sistem barter? Atau ke uang emas, dinar, dirham, dan sebagainya?
Analisis kita di atas, menunjukkan bahwa sistem barter dan uang emas, kedua-duanya, sama-sama tidak memadai untuk mengembangkan ekonomi umat manusia. Justru, uang kertas atau uang fiat yang berhasil mendorong perekonomian dunia. Hanya saja, kita perlu menjaga agar kesenjangan ekonomi tetap dalam kadar yang rendah. Kemudian, mencegah dampak negatif pertumbuhan ekonomi misal krisis iklim dan krisis kemanusiaan. Masalah utama bukan terletak pada uang fiat itu sendiri. Masalah justru ada pada manusia. Bagaimana manusia bisa menciptakan sistem ekonomi yang adil makmur? Uang fiat hanyalah salah satu instrumen dari sistem ekonomi. Kita akan menjawab pertanyaan ini di bagian bawah.
Bagaimana pun, tetap ada kritik tajam terhadap uang fiat. Kritik datang dari pendukung uang digital, khususnya, pendukung uang crypto (kripto) yang memanfaatkan teknologi blockchain. Argumen utama mereka adalah uang sebagai simbol kebebasan. Tidak sepantasnya pihak tertentu, misal pemerintah, memiliki wewenang tunggal dalam mencetak uang. Kita bisa berargumen bahwa kritik Diogenes terhadap uang emas bukan untuk memindahkan wewenang uang ke pemerintah. Tetapi, memastikan uang adalah “trust” kepercayaan antara umat manusia yang sama-sama memiliki kebebasan.
1.3 Uang Digital
Uang digital atau uang elektronik sudah berkembang pesat puluhan tahun ini. Di sini, kita perlu membedakan uang digital yang sejatinya uang fiat dengan uang digital yang sejatinya uang kripto (crypto currency). Uang digital, yang saat ini beredar, nyaris seluruhnya adalah uang fiat. Sementara, uang kripto baru mulai berkembang semisal bitcoin, ethereum, dogecoin, dan lain-lain.
Uang fiat digital memiliki karakter mirip dengan uang fiat biasa dengan beberapa kelebihan. Pertama, cepat. Kita bisa transaksi dengan uang digital online di berbagai penjuru dunia. Kedua, terjaga. Khususnya uang digital yang “catatannya” disimpan dalam sistem misal kartu ATM. Ketika kartu ATM hilang maka kita bisa minta ganti kartu tanpa kehilangan nilai uangnya. Beda dengan uang kertas bila hilang atau terbakar, misalnya, maka nilai uang kertas tersebut ikut hilang dari Anda. Ketiga, histori. Semua transaksi uang digital, hakikatnya, tercatat dalam sistem. Sehingga, seorang koruptor tidak akan mengirimkan uang korupsi berupa uang digital karena catatan historinya mudah ditelusuri.
Dengan mempertimbangkan keunggulan uang fiat digital, kita bisa menilainya sebagai “penguat” uang fiat biasa. Kita menduga uang digital akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar, di saat yang sama, menyebabkan krisis kemanusiaan dan krisis iklim juga lebih besar. Sehingga, kita memerlukan solusi yang lebih baik untuk uang fiat digital. Uang kripto perlu menjadi pertimbangan.
Uang kripto, misal bitcoin, beda dengan uang fiat digital. Meski, mereka sama-sama digital. Uang kripto mengklaim diri sebagai freedom: bebas. Benarkah demikian?
Pertama, uang fiat dicetak dan diatur oleh pemerintah, misal Bank Indonesia. Sementara, uang kripto “dicetak” oleh masyarakat tanpa ada peran bank sentral. Rakyat benar-benar bebas “mencetak” uang kripto. Teknologi blockchain menjadi instrumen bagi masyarakat bebas untuk “mencetak” uang kripto. Tanpa instrumen teknologi yang memadai maka masyarakat tidak bisa mencetak uang kripto. Artinya, uang kripto tidak bisa dicetak pada abad lalu, abad 20, karena instrumen teknologi tidak memadai.
Kedua, nilai uang fiat dipengaruhi intervensi pemerintah. Sementara, nilai uang kripto, sepenuhnya, ditentukan oleh masyarakat. Masyarakat bebas untuk menentukan nilai uang kripto. Lagi-lagi teknologi blockchain menjadi platform yang mendukung ini. Ketiga, uang kripto bersifat anonim. Bila Anda ingin transaksi rahasia maka Anda bisa, benar-benar, sembunyi dalam uang kripto.
Dengan beragam keunggulan uang kripto, barangkali kita bisa optimis bahwa uang kripto akan berhasil menciptakan kehidupan umat manusia yang adil makmur dan dalam suasana freedom. Apakah uang kripto akan bisa seperti itu? Masih terlalu dini untuk memberi jawaban akhir.
Memang uang kripto memberi “kekuasaan” yang besar kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa mengimbangi kekuasaan penguasa, misal pemerintah. Tentu saja, penguasa tidak dengan mudah melegalkan uang kripto. Karena uang kripto bisa menggoyang kekuasaan status quo. Di beberapa negara, uang kripto dianggap sebagai tidak legal. Wajar.
Dengan suksesnya bitcoin, sebagai salah satu contoh uang kripto, tentu memberi motivasi bagi banyak pihak untuk mengembangkan uang kripto secara mandiri. Saat ini, tahun 2022, setidaknya sudah ada 9900 jenis uang kripto di pasar bebas. Memang benar bahwa bitcoin saat ini, tampaknya, dimiliki oleh orang-orang kelas kaya (tentu kita tidak bisa tahu secara pasti karena anonim). Namun, di antara ribuan uang kripto yang ada, atau yang akan muncul, barangkali akan ada yang berhasil mewujudkan masyarakat adil makmur dalam suasana freedom.
Mari kita ringkas ulang pembahasan kita dari sistem barter, uang fiat, sampai uang kripto. Sistem barter sudah ketinggalan jaman maka tidak layak jadi pilihan saat ini. Sementara, uang kripto masih terlalu awal untuk bisa diandalkan meski kita berharap banyak uang kripto bisa jadi solusi. Pilihan yang tersisa, saat ini, adalah uang fiat, baik berupa uang kertas atau pun uang fiat digital.
Uang fiat terbukti berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi dengan harga yang mahal pula: krisis iklim dan krisis kemanusiaan. Bagaimana pun, krisis ini bukan disebabkan oleh uang fiat itu sendiri, melainkan disebabkan oleh manusianya. Sementara, uang fiat berperan sekedar sebagai instrumen hasrat manusia. Sehingga, solusi bisa saja tetap memakai uang fiat atau tidak memakainya. Solusi ini menjadi makin sulit karena melibatkan hasrat manusia yang tidak bisa dipastikan. Sejatinya, hasrat adalah ungkapan cinta dari manusia. Sebagaimana biasa, manusia selalu bisa membelokkan cinta jadi dusta. Kita perlu waspada.
1.4 Harga Raga Jiwa
Hasrat manusia kepada uang teramat besar. Atau, uang yang menyebabkan hasrat manusia menjadi lepas kendali terus membesar. Manusia, yang sejatinya punya kebebasan, menjadi terikat oleh hasrat. Pada gilirannya, hasrat terikat oleh uang. Orang mengira bahwa dirinya bisa mengendalikan uang. Sebaliknya yang terjadi, manusia yang dikendalikan oleh uang. Tentu saja, kecuali orang-orang tertentu.
Wajar bila seseorang berdonor organ tubuhnya demi orang lain, misal donor ginjal. Menjadi sulit dipahami bila seseorang menjual organ tubuhnya demi mendapatkan uang. Lebih rumit lagi ketika terjadi pencurian organ tubuh beberapa puluh tahun yang lalu. Calon korban dibius, kemudian, ginjalnya diambil oleh pelaku. Selanjutnya, pelaku menjual organ curian itu ke pembeli termahal. Organ tubuh manusia bisa dibeli dengan uang. Tentu, ngeri sekali. Badan manusia bisa dinilai dengan uang.
Lengkap sudah manusia bisa dihitung berdasar uang. Organ tubuhnya bisa dihitung dengan uang. Sementara, jiwanya dan hasratnya dikendalikan oleh uang. Maka jiwa dan raga manusia, totalitas, bisa dibeli dengan uang. Tentu saja, tidak manusiawi. Itulah realitas hari demi hari.
1.5 Politik Uang
Politikus berpikir bahwa dia bisa memenangkan kompetisi politik dengan memainkan uang. Pada gilirannya, politikus itu sendiri yang dikendalikan oleh uang. Dan, masyarakat luas yang dikendalikan oleh politikus itu, sejatinya, dikendalikan oleh uang juga.
Politikus bisa saja berpikir idealis untuk membangun negara. Politikus berpikir bisa menetapkan undang-undang sedemikian hingga undang-undang itu mengantar rakyat adil makmur. Di saat yang sama, politikus sadar akan dampak dari undang-undang yang mereka tetapkan. Apa yang akan terjadi jika undang-undang membawa dampak positif kepada masyarakat tetapi tidak menyebabkan politikus terpilih kembali menduduki kursi jabatan? Ataukah, lebih menarik untuk menetapkan undang-undang yang konvensional tetapi berdampak dirinya, sang politikus, terpilih kembali menduduki jabatan politis?
Noam Chomsky (lahir 1928) mencermati bahwa siapa pun pemenang kontes politik, pada gilirannya, kekuasaan dikendalikan oleh perusahaan besar. Politikus tahu siapa yang membiayai kemenangan kampanye politik mereka. Dan, politikus juga tahu biaya yang dibutuhkan untuk tetap bertahan di kursi jabatan. Perusahaan-perusahaan raksasa adalah rekanan paling tepat untuk mereka, secara langsung atau tidak langsung. Perusahaan besar sudah teruji sebagai pihak yang paling mahir memainkan uang.
Meski secara resmi politik uang adalah terlarang, tetapi secara realita, politik uang bisa ada di mana saja. Kekuatan dahsyat uang telah berhasil menenggelamkan idealisme politik di berbagai wilayah.
Sampai di sini, pembahasan kita tentang uang, seakan-akan uang adalah sumber dari segala masalah kemanusiaan. Bagaimana pun, kita juga sudah menegaskan bahwa masalahnya bukan pada uangnya tetapi pada sisi manusianya. Uang adalah sekedar instrumen bagi sistem ekonomi. Uang adalah instrumen bagi manusia. Maka, kita akan mengusulkan solusi ekonomi yang melibatkan sisi kemanusiaan di bagian bawah. Dengan harapan, sistem ekonomi bisa kembali menjadi manifestasi cinta bagi seluruh umat manusia.
2. Ekonomi Angka Semata
Pembelokan ekonomi cinta makin parah ketika uang bisa digantikan oleh angka-angka belaka – misal uang digital, valuta asing, saham, dan lain-lain. Pertumbuhan ekonomi, bisa saja, hanya bermakna bagi kelompok kaya. Pertumbuhan ekonomi bukan pertumbuhan ekonomi real. Hanya pertumbuhan angka-angka bagi kelas kaya. Bagaimana pun, angka-angka itu tetap bermakna sebagai kemewahan dunia.
2.1 Pertumbuhan bukan Profit
Peter Drucker (1909 – 2005) menekankan pentingnya bagi perusahaan untuk tetap profit. Dengan cara ini, perusahaan menjadi sehat dan mampu berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Menjelang akhir abad 20 dan awal abad 21, rumusan Drucker mulai banyak yang menentang. Apa lagi dengan munculnya era digital, fokus terhadap profit mulai tertinggal.
Intuisi kita, sebagai orang awam, setuju dengan Drucker yang ahli ekonomi itu bahwa perusahaan perlu untuk tetap profit. Sementara, pemain bisnis memiliki cara pandang yang lebih cerdik. Profit bukan yang paling utama. Bisa saja perusahaan rugi bertahun-tahun dalam jumlah trilyunan rupiah. Di saat yang sama, perusahaan itu tetap “menguntungkan” sehingga tetap dipertahankan. Kita melihat banyak kasus akhir-akhir ini di perusahaan penerbangan, marketplace, transportasi, minimart, dan lain-lain yang tidak profit tetapi “menguntungkan.”
Salah satu ukuran lebih penting dari profit adalah pertumbuhan. Selama perusahaan membukukan pertumbuhan pendapatan, meski tidak profit, dipandang baik-baik saja. Dalam skala negara, pertumbuhan ekonomi menjadi ukuran paling utama. Jika tumbuh mendekati 5%, apalagi dua digit, maka negara tersebut dipandang sebagai negara yang sukses. Padahal, di negara yang sama, bisa saja terjadi ketimpangan ekonomi, tidak adil, perusakan lingkungan dan sebagainya.
Ukuran pertumbuhan bisa membuat kita terlena dari beragam resiko di atas. Sementara, fokus kepada profit nyata menjaga kita untuk tetap berinteraksi wajar dengan alam sekitar. Tentu saja, fokus hanya kepada profit tidak cukup. Kita tetap perlu mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
2.2 Dominasi bukan Prestasi
Lanjutan dari pertumbuhan perusahaan adalah dominasi. Kita menyadari bahwa monopoli dilarang di berbagai tempat. Sementara, dominasi dibolehkan di mana-mana. Selanjutnya, setelah dominasi, perusahaan bisa “praktek monopoli” atas nama pasar bebas.
Barangkali, kita masih ingat kasus beberapa perusahaan besar mendominasi market. Kemudian, semua pesaing berguguran. Tinggal perusahaan besar yang dominan itu mengambil keuntungan. Di Indonesia, beberapa tahun lalu, kita mengenal istilah perusahaan sedang “bakar uang.” Perusahaan menebar program promo harga murah dan bonus besar. Orang-orang jadi berlangganan. Padahal perusahaan tersebut rugi sampai trilyunan – “bakar uang.” Sementara, perusahaan kecil yang akan bersaing pasti kalah. Jangankan rugi trilyunan rupiah, rugi 3 juta rupiah saja perusahaan kecil dan mikro sudah gulung tikar.
Setelah itu, perusahaan yang “bakar uang” menjadi dominan. Dia bebas melakukan beragam manuver untuk mengambil keuntungan. Bukan monopoli tetapi dominasi. Persaingan, nyaris sudah hilang.
Kita tahu bahwa kita perlu kompetisi yang sehat untuk menghasilkan prestasi terbaik bagi masing-masing perusahaan dan masyarakat luas. Persaingan yang sehat tidak menjamin suatu perusahaan pasti akan menang. Karena itu, investasi di dunia persaingan sehat sangat beresiko. Investasi akan lebih aman bila berada pada posisi dominan. Konsekuensi wajar, dominasi lebih utama dari prestasi.
Apakah sistem ekonomi mengutamakan dominasi adalah baik?
Barangkali berdampak baik bagi pihak dominan. Tetapi, bisa berdampak buruk ke masyarakat luas. Dampak susulan dominasi adalah terjadinya kesenjangan sosial. Sebagaimana SDG mengungkapkan bahwa kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi, berbahaya bagi umat manusia. Dominasi juga berdampak hilangnya kebebasan. Rakyat tidak lagi bebas membuka usaha. Karena, bisa dipastikan, rakyat biasa yang bersaing dengan pihak dominan akan kalah melalui satu dan lain cara. Atau, jika rakyat itu sangat kreatif dan kuat, dia terpaksa harus kolaborasi dengan pihak dominan. Untuk kemudian, usaha rakyat itu diakuisisi oleh pihak dominan.
Kita butuh kompetisi yang sehat. Kita butuh masyarakat yang sehat. Kita butuh ekonomi yang sehat, ekonomi yang menjadi manifestasi cinta bagi sesama.
2.3 Cinta Angka
Kita sampai ke bagian paling bahaya: cinta ditukar oleh angka.
Uang adalah angka. Kekayaan adalah angka. Pertumbuhan adalah angka. Dominasi adalah angka. Ekonomi adalah angka. Manusia adalah angka. Cinta adalah angka.
Dan, kita tahu angka adalah tak hingga. Selalu ada angka yang lebih besar dari angka yang pernah Anda bayangkan. Selalu ada uang yang lebih besar dari uang yang Anda bayangkan. Selalu ada hasrat yang lebih besar dari hasrat yang pernah Anda rasakan.
Libido keserakahan menjadi tanpa batas karena angka yang tertulis pada uang juga tanpa batas. Uang sendiri menjadi tak terbatas pada uang saja, karena, angka muncul dalam ragam variasi: valuta asing, saham, nilai properti, hak cipta, sampai crypto currency.
Ketika umat manusia fokus hanya kepada angka maka semua bisa hilang makna. Transaksi ekonomi yang semula saling memberi manfaat berganti menjadi hanya angka-angka belaka. Kerusakan lingkungan, yang menjadikan orang-orang miskin kelaparan, berubah menjadi data angka-angka belaka. Rakyat yang hidupnya terbelenggu dalam jurang kemiskinan pun hanya angka-angka belaka.
Apa pentingnya angka-angka? Angka adalah segalanya. Atau, segalanya adalah angka.
Deleuze (1920 – 1995) mengingatkan bahwa mesin pendorong manusia adalah hasrat-produksi. Di mana, dengan angka, hasrat-produksi ini makin tampak nyata. Hasrat yang semula kecil, hasrat ingin menikmati rumah kecil, tumbuh menjadi besar. Karena besar adalah angka maka pasti ada angka yang lebih besar, ada hasrat yang lebih besar dari yang besar itu. Dan, orang menyangka bisa memuaskan hasrat dengan konsumsi suatu produk atau jasa. Tidak bisa, nyatanya, manusia tidak bisa puas. Konsumsi, sejatinya, adalah memproduksi hasrat yang lebih besar lagi. Makin besar seseorang melakukan konsumsi maka makin besar hasrat yang dia produksi.
Ekonomi hasrat, ekonomi libido, ekonomi serakah tentu saja berbahaya bagi umat manusia. Kita akan merumuskan beberapa rekomendasi solusi di bagian bawah berikut ini.
3. Penjara vs Sasana
Di bagian akhir ini, kita akan mencoba merumuskan solusi ekonomi cinta. Ekonomi yang seharusnya menjadi sarana kemajuan umat manusia telah berubah menjadi penjara bagi umat manusia. Kita sudah memiliki beragam teori dan alat ukur untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil makmur. Pertumbuhan ekonomi, tentu, menjadi ukuran paling utama. Di saat yang sama, kita perlu menjamin pemerataan dan menghapus kesenjangan yang ada. Rasio gini dan rasio power paman menjadi andalan utama. Dengan demikian, kita berhak optimis untuk mengarahkan ekonomi sebagai jalan cinta, mengubah penjara menjadi sasana cinta.
3.1 Cahaya Ekonomi
Hakikat dari ekonomi adalah cahaya, adalah cinta. Sehingga, sistem ekonomi adalah sistem yang mengantarkan manusia menuju jalan terang kemajuan peradaban. Bila ada sistem ekonomi serakah, ekonomi tanpa moral, maka itu adalah pembelokan dari sistem ekonomi cahaya. Kita tetap punya harapan untuk kembali merancang sistem ekonomi yang bercahaya.
Kita membutuhkan analisis kritis terhadap setiap sistem ekonomi. Kita perlu bersikap pesimis terhadap sistem ekonomi yang ada. Pandangan kritis ini membantu kita untuk mengenali dampak negatif sistem ekonomi, untuk kemudian, kita menyiapkan solusi yang memadai. Masing-masing individu, di antara kita, menyimpan cahaya. Kita bisa, bersama-sama, memancarkan cahaya dalam sistem ekonomi cahaya.
3.2 Ruang Temu Barzakh
Sistem ekonomi adalah barzakh yang merupakan ruang temu antara cahaya dan gelap. Kita memerlukan gelap itu untuk memahami cahaya. Kita menyadari pentingnya cahaya lampu ketika ruang gelap. Tetapi, kita bisa meremehkan cahaya lampu ketika berada di tengah lapang, di bawah terik matahari. Cahaya lampu menjadi berarti karena ada ruang yang gelap. Sistem ekonomi adalah ruang temu cahaya dan gelap seperti itu.
Dalam ruang temu cahaya dan gelap, seseorang bisa saja terjebak dalam sisi gelap. Mereka yang menjalani sistem ekonomi serakah adalah orang yang sedang terjebak dalam sisi gelap ekonomi. Mereka hanya berputar-putar dalam ruang gelap. Makin lama, makin terperangkap. Tetapi perangkap gelap ini bukan hanya berlaku terhadap individu. Perangkap gelap itu bisa terjadi secara sistemik, memang sistem ekonominya yang menjebak para individu. Ruang temu cahaya itu berubah menjadi penjara bagi cahaya. Cahaya-cahaya individu terjerat dalam jeruji gelap.
Dengan demikian, kita bisa mempertimbangkan solusi ekonomi cahaya dalam tiga bentuk. Pertama, solusi personal di mana masing-masing orang berperilaku dengan moral tinggi dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Kedua, solusi sistem di mana kita merancang sistem ekonomi yang memastikan setiap anggota masyarakat mendapatkan hak dan kewajiban ekonomi secara adil makmur. Ketiga, kombinasi dari solusi personal dan sistem. Dalam kombinasi ini, bobot aspek personal dan aspek sistem bisa beragam. Sehingga, solusi kombinasi ini sangat beragam.
3.2.1 Solusi Pribadi
Solusi personal mengandalkan kesadaran individu-individu untuk menjunjung moral tinggi dalam kegiatan ekonomi. Jika masing-masing individu bermoral tinggi, maka, keseluruhan sistem ekonomi akan menjadi ekonomi cahaya yang adil makmur. Meski tampak mudah, solusi personal sulit untuk realisasi. Karena, masing-masing individu adalah agen yang bebas dalam transaksi ekonomi. Sehingga, mereka sewaktu-waktu bisa melanggar standar moral. Tidak ada yang bisa mencegah pelanggaran itu.
Hobbes (1588 – 1679) meyakini bahwa bila setiap individu berniat baik di masyarakat, sama-sama bebas berbuat baik, hasilnya adalah sistem ekonomi yang buruk. Karena, setiap orang akan mengejar “kebaikan” versi masing-masing yang, pada gilirannya, saling merugikan di antara mereka. Atau, bahkan merugikan dalam skala komunitas. Hobbes memandang manusia lebih kuat dari sisi gelapnya. Pandangan pesimis Hobbes ini mengingatkan kita untuk tidak merasa cukup hanya dengan solusi personal. Hobbes sendiri mengusulkan solusi yang, menurut pandangan banyak pengamat, terlalu besar memberi kekuatan kepada negara.
Locke (1632 – 1704) adalah murid dari Hobbes. Locke merevisi berbagai macam pandangan Hobbes. Memang akan terjadi konflik dalam masyarakat bila masing-masing manusia bebas berbuat sesuai keinginan baik mereka. Tetapi, dalam konflik ini, pihak-pihak tidak bermaksud untuk mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri. Mereka hanya menuntut keadilan. Meski demikian, tuntutan terhadap keadilan ini bersifat bias. Tanpa sengaja, masing-masing pihak melakukan tuntutan secara berlebihan. Masalah peliknya, dalam banyak kasus, tidak ada acuan jelas tentang praktek keadilan. Maka, kita perlu membangun masyarakat sipil yang berpegang pada hukum.
Nozick (1938 – 2002) melangkah lebih jauh dengan mempercayai kebebasan manusia. Freedom adalah hak paling dasar bagi setiap manusia. Tidak ada yang bisa melanggar kebebasan orang dengan dalih apa pun. Termasuk negara, tidak berhak membatasi kebebasan setiap warga. Barangkali sejalan dengan Sartre, “Manusia adalah kebebasan dan kebebasan adalah manusia.” Sehingga, Nozick mengusulkan bentuk negara sebagai negara-minimalis. Sementara, peran terbesar tetap kepada masing-masing individu.
Suhrawardi (1154 – 1191) menyadari bahwa manusia memiliki sisi cahaya dan sisi gelap. Meski, yang sejati adalah aspek cahaya, tetapi, sisi gelap sewaktu-waktu bisa menyergap. Karena itu, Suhrawardi menyarankan umat manusia untuk hidup sederhana. Kehidupan ekonomi hanya secukupnya saja. Memanfaatkan kekuatan ekonomi untuk saling membantu di antara sesama umat manusia. Dan, umat manusia perlu lebih fokus mengembangkan peradaban yang maju melalui pencerahan pengetahuan dan jiwa.
Epicurus (341 – 270 SM), sejak awal, mengingatkan bahwa tugas manusia adalah menikmati kehidupan ini. Agar bisa menikmati hidup maka setiap manusia perlu membatasi diri. Konsumsi hanya secukupnya saja, bahkan, produksi juga secukupnya. Termasuk profit atau pertumbuhan ekonomi hanya secukupnya saja. Sesuatu yang berlebihan justru akan membuat seseorang gagal menikmati kehidupan.
Kita bisa meringkas bahwa solusi personal, solusi pribadi, tidak akan mencukupi untuk mengembangkan sistem ekonomi cahaya. Tetapi, solusi personal adalah suatu keharusan bagi setiap individu. Tanpa solusi personal yang baik maka solusi apa pun akan gagal. Sementara, dengan solusi personal, minimal, masing-masing individu bisa mengembangkan sistem ekonomi cahaya dalam skala kecil.
3.2.2 Solusi Sistem
Berikutnya, kita akan mencoba mengkaji beberapa solusi sistemik, sosial, atau kenegaraan. Barangkali, kita akan memilih sedikit saja, yaitu sistem ekonomi kapitalisme, komunisme, dan teonomis. Saat ini, kapitalisme dianggap sebagai sistem ekonomi paling berhasil, benarkah? Komunisme dianggap gagal di beberapa tempat, tetapi, kemampuan adaptasinya membuat banyak pihak tertarik membuat revisinya. Sedangkan, teonomis, yaitu sistem ekonomi berdasar aturan agama, dianggap pernah berhasil di masa lalu. Apakah bisa menjadi solusi terbaik di masa kini?
3.2.2.1 Kapitalis
Adam Smith (1723 – 1790) adalah pemikir ekonomi paling brilian di masanya. Pada umumnya, orang-orang menyebut Smith sebagai bapak ekonomi kapitalis. Smith meyakini pasar bebas dan persaingan bebas adalah jalan terbaik untuk membangun ekonomi negara. Kelak, konsep Smith ini menjadi fondasi ekonomi kapitalis. Sejak itu, memang benar, pertumbuhan ekonomi makin maju lengkap dengan dinamikanya. Produsen dari Eropa makin gencar meluaskan pasar sampai ke Asia dan Afrika. Ditambah dengan filosofi Hobbes bahwa sebagian besar manusia tidak mampu mengatur diri-sendiri, pertumbuhan ekonomi kapitalis seiring dengan perkembangan kolonialis.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa Eropa berkembang pesat. Bermunculan orang kaya baru dari berbagai macam lapisan masyarakat. Inovasi di bidang industri makin subur. Bukan hanya bangsawan yang bisa hidup makmur. Siapa pun orangnya bisa bersaing untuk menjadi makmur. Tentu saja, tidak seindah itu bila kita membaca dari sudut yang berbeda. Dari kacamata rakyat Asia dan Afrika, ekonomi kapitalisme justru banyak merugikan. Kemiskinan ada di mana-mana. Pengerukan kekayaan alam sampai merusak bumi. Dan, ketimpangan ekonomi makin menjadi-jadi.
Dari dalam diri kapitalisme sendiri, muncul problem serius. Awal abad 20, kemampuan pabrik-pabrik industri makin tumbuh besar. Hasil produksi mereka lebih banyak dari yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akibatnya, terjadi kelebihan produksi, kelebihan penawaran. Tidak ada pembelian atau permintaan yang memadai. Ekonomi kapitalis macet. Terjadi krisis dan resesi ekonomi di dunia. Kapitalisme terjebak dalam perangkapnya sendiri.
Keynes (1883 – 1946) adalah pahlawan ekonomi kapitalis dunia. Pertumbuhan ekonomi bukan ditentukan oleh kemampuan produksi. Tetapi oleh agregat permintaan. Atau, dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingkat konsumsi. Semakin besar konsumsi masyarakat maka makin besar pertumbuhan ekonominya. Industri ekonomi kapitalis beradaptasi dengan mencermati pertumbuhan konsumsi, untuk kemudian, memproduksi barang atau jasa sesuai kebutuhan. Benar saja, krisis ekonomi teratasi waktu itu menjelang pertengahan abad 20. Perusahaan-perusahaan berusaha memahami kebutuhan konsumsi masyarakat. Bahkan, jika tidak ada kebutuhan dari masyarakat maka bisa diciptakan citra kebutuhan melalui iklan yang menggoda.
Industri iklan menjadi dominan. Bukan hanya inovasi produksi yang penting, inovasi iklan yang menciptakan rasa haus masyarakat terhadap konsumsi bahkan lebih penting. Ketika hasrat konsumsi itu sudah tinggi, maka, tugas industri untuk memproduksi barang adalah suatu tugas yang ringan. Benar saja, pertumbuhan ekonomi membubung tinggi kembali.
Yang mengagumkan dari ekonomi kapitalis adalah kemampuannya beradaptasi, misal, ketika menghadapi krisis ekonomi. Di awal abad 21 ini, ekonomi kapitalis menghadapi krisis besar lagi dengan terjadinya pandemi covid nyaris di seluruh dunia. Sistem ekonomi dunia lumpuh. Di tahun 2022, mulai tampak tanda-tanda kebangkitan kembali ekonomi kapitalis. Mengagumkan!
Tetapi, ekonomi kapitalis menghadapi masalah pelik yang tidak mampu mereka tangani. Pertama, kesenjangan sosial ekonomi. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Hampir di seluruh dunia terjadi kesenjangan ekonomi dan belum ada tanda-tanda untuk solusi. Kedua, dominasi pihak kuat ke pihak lain. Dalam pasar bebas, dan persaingan bebas, pihak kuat bisa mendominasi pihak lain dengan cara yang halus dan samar. Ketiga, krisis bumi dan semesta. Kapitalisme memang tidak mengutamakan tujuan menjaga bumi, barangkali sebalikya, menjaga bumi dianggap sebagai tanggung jawab pihak lain. Kapitalisme mengutamakan profit, pertumbuhan, dan kapital itu sendiri. Masih banyak krisis lain, yang tidak mampu diselesaikan oleh kapitalisme. Apakah kapitalisme akan mampu beradaptasi lagi?
3.2.2.2 Sosialis
Kedua adalah ekonomi komunisme, setelah kapitalisme sebagai yang pertama. Barangkali, kita menggunakan kata “sosialis” atau “sosialisme” lebih nyaman dalam diskusi kita. Ekonomi sosialis sejak awal sudah bersikap kritis terhadap kapitalisme. Dan, kritik-kritik dari sosialis ini terus bertumbuh subur sampai sekarang.
Marx (1818 – 1883), barangkali tepat, kita sebut sebagai filsuf terbesar sampai abad 20. Kritiknya terhadap kapitalisme tepat sasaran di berbagai tempat. Tapi, banyak meleset dalam meramal masa depan. Memang, siapa yang bisa meramal masa depan?
Pertama, kapitalisme akan menghancurkan dirinya sendiri. Kapitalisme akan menciptkan kelas pekerja lawan kelas kaya. Mereka berkontradiksi, lalu terjadi revolusi, dan terbentuklah masyarakat pasca-revolusi yaitu masyarakat adil makmur tanpa kelas. Kritik ini benar bahwa kapitalisme menciptakan kesenjangan antar kelas: kelas pekerja lawan kelas kaya. Tetapi tidak benar bahwa, kemudian dengan sendirinya, disusul terciptanya masyarakat adil makmur. Atau, tidak terbukti bahwa tercipta masyarakat adil makmur.
Kedua, kapitalisme menyebabkan keterasingan masyarakat. Para pekerja terasing dengan hasil kerjanya. Misal, pekerja pabrik yang merapikan tumpukan roda terasing dengan produk mobil jadi. Pekerja itu tidak mengenali konsumen yang membeli mobil dengan bahagia untuk jalan-jalan bersama keluarga. Padahal, pekerja itu akan makin bahagia bila melihat hasil kerjanya membuat orang bahagia sekeluarga. Pekerja itu terasing. Dia hanya bekerja merapikan tumpukan roda – tanpa makna.
Pekerja yang terasing dari makna kerja, bukan hanya pekerja pabrik. Nyaris semua pekerja, atau semua orang dalam sistem ekonomi kapitalis, terasing dari makna kerjanya. Direktur terasing dari hasil kerjanya karena direktur hanya melihat angka-angka pertumbuhan profit atau pertumbuhan nilai saham belaka. Direktur tidak harus peduli dengan produk perusahaan apakah akan memberi manfaat kepada masyarakat. Tetapi, meningkatkan angka profit atau angka valuasi perusahaan adalah wajib bagi direktur. Tentu saja, krisis keterasingan ini berbahaya karena sudah melanda ke mana-mana.
Ketiga, kapitalisme menyebabkan pemujaan kepada kapital. Sudah kita sebutkan di atas bahwa ekonomi serakah, ekonomi libido, menyebabkan orang-orang memuja uang dan kapital. Pemujaan yang berlebihan tanpa batas akhir. Semua orang hanya mengejar uang, atau kapital, yang memang menjadi pujaan mereka.
Masih banyak kritik-kritik lain dari sosialis ke kapitalis. Lalu, apa solusi dari sosialis? Sosialis mengusulkan sistem sosial yang adil tanpa kesenjangan antar kelas. Bagaimana caranya? Bisa revolusi atau reformasi. Mereka cenderung memilih cara revolusi. Ada yang berhasil untuk revolusi, sebagian gagal.
Fukuyama (lahir 1952) mengklaim bahwa sistem ekonomi sosial-komunis telah runtuh pada tahun 1990an ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin. Yang tersisa, sejak itu, adalah sistem ekonomi kapitalisme-liberal. Meski, klaim Fukuyama ini benar di beberapa bagian tetapi salah di banyak bagian lainnya. Kita melihat ada Cina yang berhasil dengan sistem sosialis dalam beberapa aspek. Dan, kita melihat Brunei berhasil dengan sistem teonomis dalam aspek tertentu.
Catatan dari SDG Report menunjukkan bahwa Cina, negara sosialis terbesar, 20% penduduknya di bawah garis kemiskinan pada awal tahun 2000an. Saat ini, pada tahun 2020an, hanya 1% penduduk Cina yang miskin. Cina lebih bagus dari banyak negara lain. Misal, kemiskinan di Indonesia sekitar 10% penduduk (atau 20% tergantung standar garis kemiskinan). Sedang kemiskinan di Amerika sekitar 6% penduduk. Demikian juga dalam kesenjangan ekonomi, di Cina tidak terjadi kesenjangan yang tajam. Sementara, di negara kapitalis, benar-benar terjadi kesenjangan ekonomi yang tajam.
Bagaimana pun, Cina adalah negara sosialis tetapi berbeda dengan konsep negara sosialis di awal. Cina sudah beradaptasi dengan konsep kapitalis. Misal, di Cina saat ini, diijinkan perusahaan besar berkembang layaknya perusahaan kapitalis. Kita mengenal nama-nama besar seperti Alibaba, Huawei, dan lain-lain. Dari aspek sosial, Cina beradaptasi dengan mengijinkan rakyatnya menjalankan agama sesuai keyakinan. Padahal, awalnya, negara sosialis menolak agama. Bahkan, saat ini, Cina termasuk salah satu negara dengan penduduk beragama islam terbesar di dunia.
Sehingga, kita bisa menolak Fukuyama yang mengatakan komunisme sudah runtuh karena, misalnya, masih ada Cina. Begitu juga, kita bisa menolak Marx yang mengatakan kapitalisme menghancurkan diri sendiri karena, sampai sekarang, masih berdiri banyak negara kapitalis. Demikian juga, kita bisa menolak orang yang mengatakan teonomis sudah runtuh. Tidak benar bahwa sistem ekonomi berbasis agama sudah runtuh. Karena, ada beberapa negara teonomis yang tegak berdiri misal Brunei. Baik kapitalis, sosialis, mau pun teonomis, mereka semua memiliki kemampuan beradaptasi. Umat manusia, memang, mampu beradaptasi.
3.2.2.3 Teonomis
Ketiga, sistem ekonomi teonomis berbasis agama perlu kita bahas. Kapitalis adalah pertama, sosialis adalah kedua, dan teonomis adalah ketiga dalam urutan pembahasan kita kali ini. Sistem ekonomi teonomis, sepanjang sejarah, justru yang terbukti pernah paling sukses. Jaman kejayaan Islam, terbukti ekonomi maju. Jaman kejayaan Kristen, terbukti ekonomi maju. Dan, agama-agama lain juga memiliki sistem ekonomi yang bagus. Barangkali, sukses sistem ekonomi teonomis ini bila dijumlahkan rentang waktunya bisa melebihi 10 abad. Sementara, sukses sistem ekonomi kapitalis baru terbukti 2 atau 3 abad terakhir ini saja. Demikian juga, sukses sistem ekonomi sosialis barangkali masih kurang dari 1 abad. Sehingga, layak bagi kita untuk menimbang kembali teonomis sebagai solusi.
Keunggulan sistem teonomis adalah lengkap, komprehensif, dan tentu adaptif. Teonomis mengkaji konsep ekonomi dari masa lalu (ribuan tahun yang lalu), masa kini, dan masa depan, bahkan masa depan yang jauh yaitu masa setelah kematian – misal kehidupan di akhirat. Teonomis memandang kegiatan ekonomi sebagai suatu aktivitas yang saling terhubung dengan bidang-bidang lain. Ekonomi terhubung dengan nilai ibadah dan moral agama. Sehingga, kegiatan ekonomi memiliki nilai sakral. Kegiatan ekonomi terhubung dengan peningkatan pendidikan masyarakat, menjaga kesehatan masyarakat, dan menjaga kelestarian alam raya. Berbeda dengan kapitalisme yang memandang ekonomi hanya sebagai media maksimalisasi profit. Berbeda juga dengan sosialisme yang memandang ekonomi hanya sebagai sumber daya yang harus “disosialisasikan.” Teonomis, benar-benar, memiliki prespektif yang komprehensif.
Bila teonomis begitu hebat, maka, mengapa sistem ekonomi teonomis bisa runtuh?
Kita perlu mengkaji secara mendalam untuk menjawab pertanyaan itu. Saya berhipotesis ada tiga faktor: lemah, kooptasi, dan dogmatis.
Pertama, manusianya lemah atau tidak kompeten untuk menjalankan teonomis yang komprehensif. Akibatnya, teonomis tidak memberikan hasil sesuai harapan. Gagal di bidang ekonomi ini makin parah dengan lemahnya pendidikan. Dampak lebih jauh: makin merosotnya teonomis sampai runtuh ke jurang kehancuran.
Kedua, teonomis terkooptisi oleh kepentingan. Teonomis dibajak oleh para pejabatnya digunakan untuk menumpuk kekayaan para petinggi. Atau, teonomis digunakan untuk kepentingan politik pihak-pihak licik. Pada gilirannya, teonomis runtuh bersama sistem sosialnya yang lebih besar.
Ketiga, sikap dogmatis. Barangkali, sikap dogmatis adalah sumber bencana dari segala bencana teonomis. Keunggulan teonomis, salah satunya, adalah adaptif yaitu mampu mengikuti segala perubahan termasuk perubahan jaman, perubahan sains, perubahan teknologi, dan lain-lain. Karakter adaptif ini tertuang dalam bahasa simbolis. Dengan bahasa simbolis, umat manusia berhasil meraih inspirasi dari kitab suci setiap hari. Tetapi, sikap dogmatis bisa membalik semuanya.
Kaum dogmatis membalik teonomis, yang awalnya adaptif, menjadi jumud ketinggalan jaman. Kaum dogmatis mengambil inspirasi tunggal dari kitab suci, untuk kemudian, mereka jadikan dogma subversif. Di mana, hanya dogma versi mereka yang benar dan pihak lain salah semua. Karena teonomis tidak hanya membahas uang atau ekonomi, maka, pihak yang salah dituduh sebagai sesat bahkan tersesat dari agama. Konsekuensi lanjutannya, bisa dibayangkan, adalah menghapus keragaman, punahnya dinamika, dan akhirnya, runtuhnya teonomis itu sendiri.
Bagaimana pun, sikap dogmatis tidak hanya terjadi pada pendukung teonomis. Kaum sosialis mau pun kapitalis bisa juga terjebak dalam dogmatis. Mereka meyakini sistem mereka sebagai satu-satunya sistem yang benar, sementara, sistem yang berbeda adalah salah. Di mana pun, sikap dogmatis membahayakan sistem mereka sendiri.
Sehingga, salah satu cara untuk membangkitkan kembali teonomis adalah dengan memerangi sikap dogmatis dan menggantinya dengan sikap terbuka. Tentu saja, sikap dogmatis adalah hak masing-masing individu. Sehingga, kita perlu menghormati mereka yang bersikap dogmatis. Hanya saja, dalam kehidupan bermasyarakat, kita perlu saling terbuka dengan keragaman inspirasi. Melalui dialog yang sehat dalam masyarakat, diharapkan, teonomis bisa bangkit kembali untuk kebaikan bersama.
Taylor (lahir 1931) berpendapat bahwa sekularisasi memperkuat dan diperkuat oleh agama. Berbeda dengan kebanyakan orang yang mengira bahwa sekularisasi mengikis keyakinan umat beragama. Sekularisasi menyebabkan gelombang perubahan dari orang beragama menjadi ateis. Sebagian, memang benar begitu. Sebagian yang lain, terjadi sebaliknya. Ada gelombang besar dari orang ateis berubah menjadi beragama. Singkatnya, sekularisasi bukan memusuhi agama. Sekularisasi adalah sebuah pilihan sikap hidup yang bisa sejalan dengan agama. Sehingga, teonomis tetap valid untuk menjadi salah satu alternatif solusi.
Sampai di sini, mari kita buat ringkasan beberapa solusi. Solusi personal dan solusi sistem, mereka saling melengkapi. Kita tidak cukup hanya memilih salah satu saja antara personal dan sistem. Sedangkan dari ketiga solusi sistem yang kita bahas – kapitalis, sosialis, dan teonomis – memiliki keunggulan dan kelemahan. Kita perlu menghindari sikap dogmatis, untuk kemudian, menggantinya dengan sikap terbuka.
Bagaimana jika kita merangkul semua solusi yang ada? Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang merangkul semuanya: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Dengan demikian, apakah ekonomi Pancasila menjadi yang terbaik? Saya membahas ekonomi Pancasila di tulisan yang lain. Benar bahwa Pancasila adalah anugerah yang luar biasa. Kita perlu untuk merawatnya. Sementara, dalam tataran praktis, misal ekonomi Pancasila, kita perlu waspada di berbagai sektor yang ada.
3.3 Sarana Cinta
Kita fokus pada solusi ekonomi cinta di bagian ini. Berbagai macam kritik ekonomi, personal dan sistemik, sudah kita bahas di bagian sebelumnya. Bahkan, kita juga sudah memberikan beragam alternatif solusi. Selanjutnya, kita akan memandang ekonomi sebagai sarana cinta. Sistem ekonomi adalah barzakh yang merupakan ruang temu antara cahaya dan gelap. Karena itu, sistem ekonomi adalah sarana bagi kita untuk jatuh cinta bersama cahaya.
Sebagai sarana, sistem ekonomi bisa berubah menjadi penjara atau sasana. Ketika ekonomi menjadi penjara cahaya, maka, cahaya cinta itu terjebak dalam sistem ekonomi. Cahaya hanya berputar-putar dalam penjara. Kadang lelah, kadang serakah, dan kadang kalah. Cahaya tidak kemana-mana hanya terperangkap dalam penjara. Meski ada lubang kecil untuk keluar dari penjara, cahaya itu sudah terjebak tak bisa melompat.
Kita perlu mengubahnya untuk menjadi sasana cahaya. Bahkan penjara itu, bisa kita ubah menjadi sasana berlatih bagi cahaya. Berlatih tiap hari, dengan disiplin, menjadikan otot-otot cinta lebih kuat. Sasana cahaya menjadi pijakan bagi kita untuk melompat jauh tinggi. Sangat tinggi, untuk menjangkau rangkulan Cahaya Segala Cahaya. Sistem ekonomi adalah sasana bagi kita untuk bercahaya. Kita membutuhkan sasana. Kita membutuhkan sarana untuk bertumbuh bersama.
Berikut ini adalah ide-ide bagi kita untuk berlatih di dalam sasana cahaya.
3.3.1 Pertumbuhan Ekosistem
Solusi paling utama adalah mengubah indikator “pertumbuhan ekonomi” menjadi pertumbuhan ekosistem. Dalam teori, SDG telah merumuskan tujuan-tujuan pertumbuhan ekosistem yang berkelanjutan dengan baik. Misal, tujuan “menghapus kemiskinan,” “menghapus kelaparan,” dan “aksi iklim.” Selengkapnya, ada 17 goal dari SDG yang benar-benar baik.
Tantangan selanjutnya, bagaimana agar pertumbuhan ekosistem ini bisa benar-benar dijalankan?
Perlu komitmen nasional agar bisa dijalankan. Karena SDG adalah skala internasional maka tidak memiliki daya kerja secara langsung. Hanya level negara, komitmen nasional, yang berpeluang besar untuk mengejar tujuan-tujuan besar itu. Lebih dari itu, masing-masing negara tetap perlu detilasi dari “goal” yang bersifat global itu menjadi standar yang kongkrit. Jadi, tantangan besar masih di depan kita.
Pertama, agar ekosistem bisa bertumbuh maka kita perlu mendefinisikan batasan konsumsi yang sehat berupa batas minimal dan maksimal. Kedua, membatasi ketimpangan sosial, misal, dengan rasio Gini dan rasio Palma. Ketiga, indikator ketimpangan sosial perlu kita buat lebih real-time sehingga kita cepat mendapatkan feedback untuk kemudian melakukan koreksi segera.
Kita akan mulai dari yang pertama: mendefinisikan batasan konsumsi yang sehat.
Definisi di sini hanya bersifat estimasi dan dinamis. Maksudnya, untuk wilayah yang berbeda, bisa saja menggunakan batasan definisi yang disesuaikan dengan lingkungan sekitarnya. Demikian juga bersifat dinamis yaitu definisi bisa berubah sesuai waktu dan perubahan.
Konsumsi Sehat = [b sampai dengan a] = [b – a]
Konsumsi dianggap sehat bila nilainya lebih dari batas bawah (b) dan kurang dari batas atas (a).
Jika seseorang, atau suatu keluarga, besaran konsumsinya kurang dari batas bawah (b) maka orang tersebut termasuk golongan tidak mampu. Karenanya, perlu tindakan khusus bagi mereka agar mampu menaikkan tingkat konsumsi. Barangkali tindakan ini bisa berupa membuka lapangan kerja, lapangan usaha, atau meningkatkan keterampilan.
Sementara, jika seseorang, atau suatu keluarga, besaran konsumsinya lebih besar dari batas atas (a) maka orang tersebut termasuk golongan boros. Mereka perlu melakukan tindakan khusus karena terlalu boros dalam konsumsi. Barangkali tindakan berupa wajib lapor ke pihak berwenang atau wajib berbagi amal dalam aneka cara.
Kita bisa mengambil contoh agar lebih jelas. Untuk kasus Indonesia secara umum, kita bisa mendefinisikan konsumsi sehat perkapita, per bulan:
Konsumsi Sehat = [Rp 2 juta – Rp 8 juta]
Orang yang konsumsinya kurang dari 2 juta per bulan adalah tidak sehat karena rendah-konsumsi. Begitu juga orang yang konsumsinya lebih dari 8 juta per bulan adalah tidak sehat karena tinggi-konsumsi.
Agar lebih mudah kita pahami, barangkali, kita menghitung konsumsi per keluarga yang terdiri dari 4 orang: suami, istri, dan 2 orang anak.
(R) Keluarga yang konsumsinya di bawah 8 juta per bulan adalah kurang sehat karena rendah-konsumsi.
(T) Keluarga yang konsumsinya di atas 32 juta per bulan adalah kurang sehat karena tinggi-konsumsi.
(S) Keluarga yang konsumsinya di antara 8 sampai 32 juta per bulan adalah sehat karena wajar-konsumsi.
Tugas kita adalah membantu keluarga (T) yang kelebihan konsumsi agar bisa disalurkan sebagian ke keluarga (R) yang rendah konsumsi. Meski demikian, kita tetap perlu menghormati bahwa T berhak untuk konsumsi lebih besar dari 32 juta per bulan. Dengan konsekuensi wajib berbadi kepada R.
Sebagai ilustrasi, misal, T melakukan konsumsi 40 juta, kelebihan 8 juta dari batas atas. Maka T berkewajiban berbagi dalam jumlah yang sama dengan kelebihan, yaitu 8 juta, kepada R. Dengan demikian, setiap kelebihan konsumsi akan berdampak perbaikan konsumsi pada kelompok rendah-konsumsi R. Atau, sejatinya, T tidak harus belanja lebih dari 32 juta per bulan karena angka 32 juta per bulan adalah sudah memadai untuk kehidupan yang sehat. Bila demikian, T bisa lebih banyak berbagi atas seluruh kelebihan daya konsumsinya kepada R.
Bukankah ide semacam itu hanya khayalan bagi kita, bagi Indonesia, misalnya?
Tidak. Bukan khayalan. Karena ilustrasi angka-angka di atas mendekati realitas ekonomi di Indonesia. Konsumsi perkapita Indonesia per bulan, rata-rata, di kisaran Rp 5 juta. Untuk keluarga terdiri 4 orang maka konsumsi 20 juta per bulan. Bila ada dua keluarga maka total adalah 2 x 20 juta = 40 juta perbulan.
Bandingkan dengan ilustrasi dua keluarga: keluarga R adalah 8 juta ditambah keluarga T adalah 32 juta. Total 40 juta rupiah yang mirip dengan realitas ekonomi Indonesia saat ini. Problem muncul, di Indonesia misalnya, karena tingkat konsumsi yang senjang. Banyak keluarga yang konsumsinya di bawah 8 juta, sementara sebagian keluarga kaya konsumsi di atas 32 juta. Tugas kita adalah mencari solusinya.
Konsep konsumsi sehat menjamin keluarga miskin mampu belanja dengan memadai, di saat yang sama, menjaga keluarga kaya belanja sewajarnya, tidak berlebihan, tidak serakah. Sebagaimana kita sudah memberikan beragam kritik terhadap ekonomi serakah.
Bagaimana cara keluarga kaya T berbagi kepada keluarga miskin R? Bukankah sudah ada pajak dan badan amal?
Tersedia beragam alternatif. Saya berpikir, konsep konsumsi sehat adalah seiring sejalan dengan pajak dan badan amal. Sehingga, reformasi dalam strategi pajak bisa terus berlanjut. Sementara, konsep konsumsi sehat berusaha untuk menjaga pertumbuhan-ekosistem dalam lingkungan ekonomi cinta.
Kelebihan daya konsumsi dari keluarga kaya T disalurkan oleh agen-agen mandiri. Semua dana, atau kelebihan daya konsumsi ini, disalurkan ke keluarga miskin R dalam jumlah 100%. Biaya operasional agen dibiayai oleh negara dari APBN. Benar, di sini ada penambahan beban APBN. Meski demikian, agen adalah agen mandiri yang tidak terikat oleh pemerintah atau kepentingan lain. Manajemen agen transparan, terbuka untuk publik.
Biaya operasional agen juga bukan dari hibah atau sejenisnya. Karena agen bukan badan amal. Agen mandiri dirancang untuk benar-benar mandiri. Barangkali, tidak akan ada prospek karir mentereng bagi orang-orang yang bekerja sebagai agen. Tetapi, pendapatan mereka terjamin layak, tidak kurang dan tidak berlebih dalam jangka waktu tertentu. Agen, bisa saja, adalah pemuda yang sedang mencari pengalaman kerja beberapa tahun. Bisa juga, agen adalah profesional yang benar-benar mengabdikan hidupnya untuk menjadi agen profesional.
Ekosistem Luas
Kita perlu mendefinisikan pertumbuhan-ekosistem lebih luas lagi dari konsep konsumsi sehat. Beberapa kandidat konsep antara lain: investasi sehat, properti sehat, pendidikan sehat, dan usaha sehat. Meski banyak konsep sehat yang bisa kita kembangkan, kita tetap perlu fokus dan menjaga cukup sederhana. Sehingga, seandainya, kita fokus hanya kepada konsep konsumsi-sehat adalah bagus. Bagaimana pun, konsep-konsep dari SDG merupakan sumber inspirasi terbaik.
Kita berasumsi bila konsep konsumsi sehat berjalan baik, maka, masing-masing individu memanfaatkan kebebasan dirinya untuk memilih konsumsi terbaik bagi mereka. Pertumbuhan ekosistem menyasar perbaikan ekonomi cahaya secara personal dan sistemik. Secara personal, masyarakat perlu bersyukur ketika konsumsi mereka dalam rentang konsep konsumsi sehat. Individu perlu waspada bila tingkat konsumsi terlalu rendah atau terlalu tinggi. Secara sistem – kapitalis, sosialis, dan teonomis – bisa memanfaatkan konsep konsumsi sehat untuk menjaga dinamika sistem ekonomi berkelanjutan.
3.3.2 Rasio Gini Palma
Rasio Gini menjadi ukuran keadilan ekonomi dunia paling terkenal. Rasio Gini sangat sederhana. Hanya berupa angka dari 0 sampai 1 saja – atau dinyatakan dalam bentuk persen. Misal rasio Gini Indonesia adalah G = 0,38 menandakan ada ketimpangan ekonomi. Di bagian ini, kita akan membahas rasio Gini, dan rasio Palma, guna menjaga sistem ekonomi agar menjadi sasana cahaya – sebuah sarana bagi umat manusia untuk tumbuh bersama cahaya cinta.
Lorenz (1876 – 1959) adalah ekonom dan ahli statistik yang berhasil membuat kurva penyebaran kekayaan dan pendapatan. Kelak, kurva ini dikenal sebagai kurva Lorenz. Dengan cerdik, Lorenz membuat kelompok ekonomi masyarakat dalam beberapa kelas. Kemudian, mengurutkannya dari yang paling miskin menuju ke yang lebih kaya. Data ini, selanjutnya, dibuatkan grafik kumulatif yang berupa kurva. Dari kurva ini tampak jelas penyimpangan dari garis lurus. Makin jauh menyimpang dari garis lurus maka makin besar ketimpangan ekonomi di masyarakat bersangkutan. Seberapa besar ketimpangan tersebut?
Gini (1884 – 1965) adalah ahli statistik dan sosiolog yang berhasil merumuskan indeks atau rasio ketimpangan ekonomi. Kelak, indeks tersebut dikenal sebagai indeks Gini atau rasio Gini yang begitu populer. Gini mengkaji kurva Lorenz, untuk, kemudian menghitung rasio ketimpangan dari setiap kurva. Gini membandingkan, rasio, wilayah yang menyimpang dari garis lurus terhadap total wilayah tanpa penyimpangan ideal. Hasilnya adalah rasio Gini G.
Makin besar rasio gini G maka makin besar ketimpangan ekonominya. Nilai G = 0 bermakna tidak ada ketimpangan atau semua orang memiliki kekayaan, penghasilan, dalam jumlah yang sama persis. Adil merata. Dalam realitas, tidak pernah ditemukan adil merata seperti itu. Nilai G = 1 atau 100%, bermakna terjadi ketimpangan maksimal. Yaitu, semua orang tidak punya kekayaan sama sekali kecuali hanya 1 orang raja yang memiliki seluruh kerajaannya. Dalam realitas, hal ini juga sulit terjadi.
Secara realistis, rasio G di antara 0 dan 1. Tujuan keadilan ekonomi adalah mencapai nilai G yang rendah, misal, SDG menetapkan rasio G = 0,275 = 27,5% sebagai batas ketimpangan. Ketika di Indonesia, rasio G = 0,38 maka bermakna terjadi ketimpangan ekonomi di Indonesia. Sementara di Uni Emirat Arab, G = 0,26 maka tidak terjadi ketimpangan. Di Emirat, bukannya tidak ada perbedaan antara yang miskin dan kaya. Tetapi, perbedaan yang ada tidak sampai menimbulkan ketimpangan. Karena perbedaannya hanya sedikit saja.
Tampak jelas, rasio Gini memberi kita informasi jelas tentang ketimpangan. Di Indonesia, pendapatan perkapita, rata-rata pendapatan penduduk, adalah sekitar 5 juta per bulan. Atau, untuk keluarga dengan anggota 4 orang, pendapatan adalah 20 juta per bulan. Cukup bagus, bahkan sangat bagus, sebagai rata-rata. Problem muncul ketika yang miskin makin miskin dan yang kaya makin kaya dengan ditunjukkannya oleh rasio Gini G = 0,38. Solusinya cukup jelas yaitu dengan pemerataan ekonomi: yang miskin didukung untuk lebih kuat dan yang kaya boleh membantu yang miskin meski tetap makin kaya.
Yang menarik dari rasio Gini adalah tidak adanya keharusan yang kaya dikurangi kekayaannya untuk memperbaiki G. Maksudnya, ketika yang kaya makin kaya dan diiringi yang miskin ikut makin kaya maka nilai G makin baik – ketimpangan makin teratasi.
Problem dari rasio Gini adalah tidak berlaku sebaliknya, tidak bisa membentuk kurva Lorenz lagi. Maksudnya, satu nilai G yang sama, bisa jadi, kurva Lorenz-nya berbeda-beda. Lalu, bagaimana kita bisa menyimpulkan ketimpangan dari nilai G?
Palma (lahir 1947) mengarahkan kajian lebih fokus pada ketimpangan. Kelas menengah, umumnya, tidak mengalami ketimpangan. Ketimpangan ekonomi terjadi antara kelas terkaya dengan kelas termiskin. Maka, kita bisa membandingkan 10% kelas terkaya dengan 40% kelas termiskin. Perbandingan ini, kita kenal sebagai rasio Palma P.
SDG menetapkan rasio Palma P = 0,9 sebagai batas – atau di bawah 1. Misal Indonesia, rasio P = 1,8 maka bermakna terjadi ketimpangan ekonomi di Indonesia. Sedangkan Austria, rasio P = 0,9 maka tidak terjadi ketimpangan di Austria. Sejatinya cukup jelas, problem ekonomi di Indonesia adalah ketimpangan ekonomi, sehingga, kita perlu fokus untuk mencapai solusinya
Keunggulan rasio Palma adalah intuitif, kita lebih mudah memahami. Ketika P = 1, bermakna bahwa konsumsi 10% kelas terkaya setara dengan konsumsi 40% kelas termiskin. Atau, konsumsi kelas kaya 4 kali lipat lebih besar dari konsumsi kelas miskin. Angka ini mirip dengan ilustrasi konsep konsumsi-sehat di atas. Konsumsi terendah perkapita per bulan adalah 2 juta rupiah. Sedangkan, konsumsi tertinggi adalah 8 juta per bulan.
Rasio Palma, mirip dengan rasio Gini, tidak bisa menghasilkan kurva Lorenz. Padahal, kita memerlukan kurva Lorenz. Palma bisa saja menganggap bahwa dia tidak perlu kurva Lorenz. Tetapi, bagaimana pun, Palma tetap memerlukan Lorenz. Kemudian menentukan kelas termiskin dan kelas terkaya.
Rasio power Paman berhasil memproduksi kurva Lorenz. Bahkan, berhasil menguji konsistensi Lorenz, Gini, dan Palma. Berikutnya, kita akan membahas rasio power Paman.
3.3.3 Rasio Power Paman
Ketimpangan ekonomi makin menjadi-jadi di berbagai belahan dunia. Kita memerlukan indikator yang bersifat real-time agar lebih mudah beradaptasi. Rasio power Paman N bermaksud menghasilkan indikator real-time yang dimaksud. Pada saat yang sama, proses perhitungan rasio N mudah dan ringan. Dan, rasio N dapat untuk menguji konsisteni kurva Lorenz, rasio Gini, dan rasio Palma.
Pertama, rasio N memanfaatkan kurva Lorenz. Kedua, mengestimasi fungsi kurva Lorenz dengan polinom. Saya menggunakan deret jumlah Riemann untuk tugas tahap kedua ini. Ketiga, menentukan nilai power polinom n = N. Keempat, memaknai rasio N. Kelima, menemukan konsistensi rasio N dengan Gini dan Palma.

Kita mulai dengan memaknai rasio N. Kita bisa membayangkan kurva Lorenz sebagai grafik polinom sederhana dengan pangkat N. Sehingga, ketika rasio paman N = 2, kita mengatakan nilai ketimpangan adalah N = 2 atau timpang kuadrat. Sedangkan, rasio N = 3, bisa kita katakan timpang pangkat 3 atau timpang kubik atau timpang kuadrat 3. Kasus khusus terjadi ketika N = 1 yang bermakna sebagai linear, atau garis lurus, atau tidak ada ketimpangan. Semua kelas memiliki kekayaan dalam jumlah yang sama, adil merata. Rasio N bisa bernilai pecahan positif dan, secara teori, nilai maksimumnya tidak ada, tak hingga.
Makin besar nilai rasio N maka makin besar ketimpangan masyarakat bersangkutan. Nilai ketimpangan ini mengikuti kurva Lorenz sebagai fungsi polinom pangkat N.
Misal di Indonesia, rasio N = 2,2 maka nilai ketimpangan ekonomi di masyarakat Indonesia lebih buruk dari ketimpangan kuadrat – lebih buruk dari rasio N = 2. Konsekuensinya, kita bisa menghitung tingkat-konsumsi 25% rakyat termiskin adalah di bawah 19% dari rata-rata konsumsi perkapita. Untuk tahun 2020an ini, sekitar 70 juta jiwa rakyat Indonesia daya konsumsi atau konsumsi perkapita adalah 19% x 5 juta = 950 ribu rupiah per bulan. Uang sejumlah 950 ribu itu digunakan untuk makan, sewa rumah, bayar listrik, beli sabun, dan lain-lain. Tentu saja, tidak layak. Kita perlu solusi yang tepat.
Dengan rasio N, kita bisa menghitung tingkat konsumsi kelas terkaya, kelas termiskin, atau kelas menengah sesuai fokus kajian. Untuk tingkat konsumsi 10% rakyat termiskin di Indonesia, sekitar 27 juta jiwa, adalah 6% x 5 juta = 300 ribu per orang per bulan.
Konsistensi dengan Lorenz
Secara langsung, kita dapat memproduksi kurva Lorenz:
f(x) = x^N.
Rasio Gini G:
G = (N – 1)/(N + 1)
Sebaliknya, N = (1 + G)/(1 – G)
Rasio Palma P,
P = (1 – 0.9^N)/0.4^N
Konsistensi dari beragam persamaan di atas langsung bisa kita uji dengan menggunakan nilai N. Dengan demikian, kita sudah memiliki indikator jelas secara statistik untuk mengarahkan sistem ekonomi menjadi sasana cahaya yang mengantarkan umat manusia menuju peradaban cerah.
Konsep konsumsi-sehat memberi arahan tingkat konsumsi yang tepat bagi warga masyarakat dengan menyediakan ukuran batas atas dan batas bawah. Konsep ini menjaga masyarakat dari jebakan ekonomi libido serakah baik secara personal atau pun sistemik. Sedangkan rasio N, secara lengkap memberikan data nilai ketimpangan masing-masing kelompok masyarakat. Dengan demikian, kita bisa menyusun strategi solusi yang lebih fokus untuk mengatasi masalah ekonomi.
4. Ringkasan
Akar masalah dari sistem ekonomi adalah libido serakah yang tak terkendali. Di bagian ini, kita sudah membahas berbagai macam masalah ekonomi tersebut dan mengusulkan beragam solusi agar kita mampu mengubah sistem ekonomi dari penjara cahaya menjadi sasana cahaya, sarana untuk umat manusia bersinar bersama-sama.
Di bagian awal, kita menyoroti bahwa uang adalah pemicu libido serakah menjadi tak terkendali. Berbeda dengan barang, misalnya, orang bersyukur dengan panen pisang sekarung karena bisa dibagi-bagi untuk tetangga. Sementara, bila seseorang mendapat uang sekarung maka dia makin serakah ingin uang dua karung dan seterusnya.
Solusi dengan mengajak kembali ke sistem barter tanpa uang atau kembali ke uang emas, terbukti, tidak memadai.
Masalah ekonomi libido serakah makin parah dengan hadirnya uang digital. Segala keserakahan dilipatgandakan dan dipermudah. Dan, masyarakat menjadi terbiasa bahwa yang utama dari uang adalah angka-angkanya. Akibatnya, sistem ekonomi direduksi menjadi uang, untuk kemudian, menjadi angka-angka belaka. Praktek dominasi, mirip monopoli, merebak di mana-mana.
Saya mengusulkan solusi personal dan sistemik untuk mengatasi problem ekonomi secara dinamis. Kita perlu sadar bahwa tidak ada solusi tunggal yang menyelesaikan semua masalah, satu kali, untuk selamanya. Tidak ada solusi dogmatis. Baik sistem kapitalis, sosialis, mau pun teonomis, mereka perlu belajar dari beragam kegagalan untuk kemudian diperbaiki.
Apa pun solusi ekonomi yang kita tawarkan, mensyaratkan solusi personal yang memadai. Maksudnya, masing-masing individu, dalam porsi cukup besar, harus mampu menjaga diri dari jebakan ekonomi libido serakah. Kemudian, solusi sistemik memperkuatnya. Konsep konsumsi-sehat memberikan range konsumsi (batas bawah dan batas atas) untuk personal dan sistemik. Sedangkan, rasio N memberikan ukuran yang jelas nilai ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Dengan demikian, menjadi jelas bentuk solusi yang diperlukan.
Meski pembahasan kita, di sini, tidak memadai untuk disebut sebagai solusi lengkap, setidaknya, kita optimis akan mampu mengatasi beragam masalah ekonomi libido serakah dengan teori yang kita kembangkan plus belajar dari pengalaman yang sudah-sudah. Kita juga tidak membahas konten ekonomi itu sendiri, apakah harus fokus bidang pertanian, atau harus mengutamakan ekonomi digital, atau bidang lainnya. Pembahasan bidang-bidang ekonomi seperti itu akan memerlukan kajian yang panjang lebar. Sekali lagi, pembahasan kita hanya fokus kepada “pertumbuhan ekosistem” melalui konsep konsumsi-sehat dan menangani ketimpangan ekonomi melalui indikator real-time rasio N. Semoga kita semua berhasil berpetualang dalam sistem ekonomi sasana cahaya.
Lanjut ke Politisasi Cinta
Kembali ke Philosophy of Love
Tinggalkan komentar